Melihat Tradisi Pacuan Kuda Gayo Berusia 1 Abad Lebih

Perlombaan pacuan kuda tradisional Gayo di Takengon, Aceh Tengah.
Sumber :
  • VIVA/Dani Randi (Aceh)

VIVA – Dataran tinggi tanah Gayo tak hanya dikenal sebagai penghasil kopi terbaik di Indonesia, namun juga dikaruniai bentangan panorama alam yang memikat. Budayanya juga tak kalah menarik, salah satunya atraksi pacuan kuda tradisional Gayo yang telah menjadi kegiatan rutin tahunan yang melengkapi pesona Gayo Alas.

Pacuan kuda tradisional ini menjadi event wisata yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat tiga daerah serumpun ‘Tanah Gayo’ yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Ini bukan hanya sekadar event tapi bermula dari pesta rakyat.

Pacuan kuda ini konon sudah dilakukan sebelum Belanda menjajah Indonesia, dan digelar setelah musim panen yang biasa bertepatan dengan bulan Agustus karena cuaca saat itu cerah.

Dari sejarahnya, acara ini bermula dari sekelompok anak muda yang iseng menangkap kuda menggunakan sarung di sekitar Danau Lut Tawar. Kala itu banyak kuda digembalakan, mereka lalu memacunya. Kelompok pemuda dari satu desa sering bertemu dengan pemuda desa lainnya yang akhirnya berlomba memacu kuda tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Lama-lama kebiasaan memacu kuda itu menjadi tradisi tahunan yang digelar di kampung masing-masing. Tahun 1850 pacuan kuda tradisional Gayo sudah dikenal dan tenar di tengah-tengah masyarakat, tepatnya di sekitaran Danau Lut Tawar.

Antusiasme warga dalam lomba pacuan kuda ini ternyata menarik perhatian pemerintah Belanda saat itu yang kemudian menggelar pacuan kuda di Lapangan Belang Kolak, Takengon pada tahun 1912. Acara ini berbarengan dengan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina.

Perlombaan pacuan kuda tradisional Gayo di Takengon, Aceh Tengah.

(VIVA/Dani Randi)

Pordasi Tinjau Pacuan Kuda Tradisional dan Joki Cilik di NTB

“Sejak zaman kolonial Belanda, pacuan kuda ini sudah ada. Dulu sering digelar untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Belanda yaitu Ratu Wilhelmina. Budaya pacuan kuda ini tetap berlanjut hingga hari ini,” sebut Wakil Bupati Aceh Tengah, Firdaus, SKM di sela menikmati pacuan kuda di Takengon, Selasa, 18 September 2018.

Tidak ada hadiah bagi pemenang, hanya gengsi atau marwah dan status sosial yang yang dipertaruhkan dan dipertahankan. Lalu bergotong royong dan menyembelih ternak untuk dimakan bersama.

Gelorakan Olahraga Pacuan Kuda, PP Pordasi Gelar Piala Tiga Mahkota

Tradisi memberikan hadiah saat itu datang dari Ratu Belanda Wilhelmina. Agar pacuan kuda lebih semarak, Ratu Belanda memberikan hadiah kepada siapa saja yang berhasil menjadi jawara saat itu. Hadiahnya pun beragam, mulai dari biaya makan kuda hingga piagam bagi pemenang. Lambat laun, tradisi membagikan hadiah berlanjut sampai hari ini.

Hingga peraturan pacuan kuda diubah, yang awalnya bertelanjang dada, pada zaman Ratu Belanda para Joki harus menggunakan baju dan arena dibatasi dengan rotan, agar kuda tidak keluar arena. Hingga saat ini lapangan Belang Kolak masih ada dan menjadi salah satu arena pacuan kuda tertua di kawasan Gayo Alas.

Curi Ikan di Perairan Aceh, Kapal Berbendera India Ditangkap

Pada zaman modern saat ini, pacuan kuda tradisional Gayo ini masih terjaga. Joki diharuskan tidak menggunakan pelana dan aturan wasit tidak boleh diganggu gugat. Kemudian, kuda yang digunakan ialah kuda asli Tanah Gayo.

Pemerintah setempat juga lebih mempertimbangkan untuk menjaga kelestarian kuda lokal, tanpa harus mengimpor kuda untuk bertarung di arena pacuan. "Kuda-kuda lokal ini sebenarnya kita lestarikan. Jangan sampai nanti kita fokus kuda luar sehingga kuda lokal akan punah. Itu yang kita tidak mau," kata Firdaus.

Selain itu, kini pacuan kuda tradisional Gayo kebanyakan menggunakan joki cilik tanpa pelana sebagai penunggangnya. Mereka sebelum bertanding juga sudah mahir dalam memacu kuda. Apalagi mereka juga didukung oleh orangtua dan pemerintah setempat.

Perlombaan pacuan kuda tradisional Gayo di Takengon, Aceh Tengah.

(VIVA/Dani Randi)

Fisika Hafiz (13) misalnya, joki cilik ini mengaku sejak kecil ia sudah berkeinginan menjadi joki. Sehingga ia pun meminta kepada orangtuanya agar ia bisa berlatih menunggang kuda. Kedua orangtuanya pun merestui keinginannya.

“Enggak takut, karena memang sudah biasa. Saya ingin jadi Joki memang. Saya udah berlatih sejak setahun lalu,” ucapnya.

Pantauan VIVA, dalam menyemarakkan Gayo Alas Mountain Internasional Festival 2018, masyarakat Gayo tumpah ruah menonton pagelaran ini. Yang pasti, pada akhirnya pacuan kuda menjadi tradisi dan bagian hidup dari rakyat Gayo.

Pacuan kuda ini memang selalu rutin digelar dua kali setiap tahun. Memperingati HUT RI dan HUT Kota Takengon. Berkunjung ke Tanah Gayo pastinya tidak akan lengkap jika tidak menyaksikan pacuan kuda tradisional Gayo. Dengan segala keunikannya, pacuan kuda adalah sebuah event perlombaan tradisional, di mana tradisi ini sudah dilakukan turun temurun sejak lama.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya