Kisah Pejuang Pembebas Pasung Penderita Gangguan Jiwa

Menanti Indonesia bebas pasung
Sumber :
  • VIVA/ Bimo Aria

VIVA – Menagih kepedulian dan janji pemerintah akan Indonesia Bebas Pasung tentu adalah hal penting. Tetapi mengubah stigma masyarakat akan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), terutama mereka yang mengalami pemasungan juga tidak kalah pentingnya.

Legislator PKB Duga Anak Bos Toko Roti Bukan Sakit Jiwa tapi Psikopat

Setidaknya dua hal ini yang telah dan masih dilakukan oleh Nurhamid Karnaatmaja, sejak tahun 2009. Lewat  Istana KSJ, sebuah komunitas yang peduli akan isu kesehatan jiwa, Nurhamid berusaha menggeser paradigma dan stigma yang ada di masyarakatnya. Dari pintu ke pintu Nurhamid terus memberikan pemahaman bahwa  skizofrenia atau penyakit gangguan jiwa lainnya bukan disebabkan oleh masalah mistis atau gaib. Melainkan adanya gangguan permasalahan organ tubuh yang semestinya ditangani secara medis bukan lewat mistis.

Hingga saat ini, setidaknya ada 148 ODGJ yang berhasil dibebaskan oleh Nurhamid dari pasung. Sebagian di antaranya bahkan kini tinggal dan hidup di sebuah rumah yang berada, di Desa Nagrak, Cianjur, Jawa Barat. Di rumah itu, 44 ODGJ dengan berbagai diagnosa tinggal di dalamnya. Baca Juga: Menagih Indonesia Bebas Pasung

Terungkap, Aipda Ucok yang Bunuh Ibunya Pakai Gas Melon Tak Pernah Dibekali Senpi Karena...

“Selamat datang di Istana KSJ. Kenapa saya sebut Istana walaupun ini kumuh,  darurat, ini adalah sebuah istana ketimbang keadaan sebelumnya yang dipasung, yang lebih pengap. Ini sebuah istana,  bisa berinteraksi bisa bergaul,” sambut Nurhamid yang juga didiagnosa dengan bipolar.

Saat VIVA tiba, beberapa dari mereka tengah berkumpul di bagian halaman. Mereka yang kondisinya telah membaik, rencananya akan disalurkan ke sebuah pabrik penggilingan beras untuk bekerja lagi seperti sedia kala.

Aipda Ucok yang Bunuh Ibunya Pakai Gas Melon Jadi Pasien Sakit Jiwa Sejak 2020

Saat tengah melakukan wawancara dengan Nurhamid, ada kejadian menarik yang terjadi. Melihat pintu pagar rumah yang terbuka, seorang nenek yang juga menjadi salah satu penghuni Istana KSJ tiba-tiba saja keluar. Namun dengan sigap, Yulianto yang sempat didiagnosa dengan skizofrenia langsung mengejarnya. Tak berapa lama keduanya pun kembali.

“Kalau di sini penanganannya dari pasien ke pasien. Jadi pasien yang senior merawat pasien yang baru. Mereka bergerak karena hati nurani jadi sentuhannya lebih tulus. Jadi kalau ada pasien baru yang mengamuk langsung disambut dengan hangat, kalau memukul tidak dibalas memukul, kalau meludahi tidak balas meludahi,  tapi mereka merangkul,” ungkap Nurhamid.

Semua hidup dan tinggal seperti layaknya sebuah keluarga. Dari 44 ODGJ yang tinggal di Istana KSJ, Nurhamid membaginya kedalam dua kelompok yang masing-masing memiliki kepala keluarga. Kepala keluarga ini yang memastikan bahwa tiap pasien yang tinggal di Istana KSJ mendapatkan obat dengan tepat.

Seperti salah satunya Pupun, yang sebelumnya pernah dipasung  selama 6 bulan dalam kandang sempit berteralis besi. Pada 2013 lalu, Pupun sempat diamankan Polisi karena memutilasi ibunya menjadi 6 bagian dan menyebarnya di pekarangan rumahnya, di Kampung Pasir Gombong, Desa Sukamulya, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur

Skizofrenia yang dialaminya membuatnya merasa mendapatkan bisikan untuk memutilasi perempuan yang melahirkannya itu. Karena kondisinya itu ia kemudian dilarikan ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan penanganan.  Namun, saat ingin kembali ke rumah, ia justru mendapat penolakan dari warga di tempat ia tinggal.

Hingga akhirnya ia dibantu Nurhamid dan kini tinggal di Istana KSJ dengan 44 keluarga barunya. Ia bahkan kini begitu telaten mengingatkan pasien ODGJ lainnya untuk rutin mengonsumsi obat.

Tidak berhenti hanya berhenti membebaskan ODGJ yang dipasung dan merawatnya, hampir setiap Minggu atau di waktu senggang, Nurhamid juga rutin mengunjungi mereka yang pernah dirawat di Istana KSJ dan kini telah kembali ke rumah. Ia selalu memastikan bahwa mereka yang pernah dirawat tak lagi dipasung. Selain juga memastikan, para pendamping minum obat untuk selalu memberikan obat pada pasien dengan gangguan jiwa.

Bangga dengan Sebutan ‘Gila’

Semua yang dilakukan Nurhamid sesungguhnya hanya untuk satu tujuan. Mengubah stigma yang masih melekat pada ODGJ. Pada tiap pasien yang tinggal di Istana KSJ, ia selalu menanamkan untuk tidak perlu malu, atau mesti bangga dengan sebutan ‘gila’. Ini karena belum tentu semua orang bisa memiliki pengalaman beragam yang sulit untuk dituangkan dengan kata kata.

“Kami membantu mereka mendapatkan haknya untuk sembuh. Jadi indikatornya itu mereka produktif, mandiri, bermanfaat dan juga enjoy. Kami mengantarkan saudara-saudara kami sampai ke titik itu. Istilahnya dari geuleuh menjadi deudeuh (dari jijik menjadi disayang),” kata Nurhamid.

Bahkan, di sekitar Cianjur kini kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kesehatan jiwanya meningkat drastis. Nurhamid pernah memantau jumlah konsultasi dengan gangguan jiwa pada 2009 hanya 80 per bulan dan pada 2012 mencapai 1200 per bulan.  Atas seluruh upaya yang dilakukanya, Nurhamid juga sempat mendapat penghargaan dari Menteri Kesehatan pada 2011, dan Juara 1 Anugerah Pelopor Pemberdayan Masyarakat dari Gubernur Jawa Barat pada 2016.

Kisah Pastor Pembebas Pasung Dari Ende

Sementara itu, dua ribu kilometer dari Nurhamid tinggal, Pastor Avent Saur juga melakukan hal serupa di kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.  Sebagai seorang pemuka umat beragama, ia kerap kali resah melihat masalah kesehatan mental yang hampir tidak pernah dianggap sebagai persoalan serius bagi banyak orang. Sejak 2014 lalu, ia merasa terpanggil untuk melayani ODGJ yang dipasung.  Ia bahkan tak pernah melihat latar belakang identitas, termasuk agama dari orang yang ia tolong.

Tak disangka, gerakan yang dibuatnya ternyata mendapat sambutan positif dari masyarakat, di NTT, khususnya di Flores. Lewat Kelompok Kasih Insanis (KKI), kini banyak relawan bermunculan. Bukan hanya di NTT, namun juga di pulau-pulau sekitar NTT. Hingga saat ini ia dan sekitar 1000 relawan di sekitar NTT telah berhasil mendata 3000an ODGJ sebuah hal yang semestinya dilakukan oleh pemerintah.

ODGJ yang dipasung.

                                   Pastor Avent Saur saat berbincang dengan ODGJ yang dipasung

“Indonesia ini sudah 73 tahun merdeka, tapi  selama itu pula orang dengan gangguan jiwa diabaikan, banyak yang meninggal di pemasungan, banyak juga yang meninggal di jalan. Mereka ini juga warga negara yang punya hak untuk dibela,” ungkap pria yang sempat mengenyam Studi filsafat dan teologi pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, NTT.

Namun, semua yang dilakukan Avent bukan tanpa tantangan. Dengan wilayah kepulauan, ia mengaku sulit menggapai ODGJ yang berada di luar Flores. Jarak ribuan kilometer dari Ibu Kota Jakarta, membuat masyarakat di NTT juga kesulitan mendapatkan pasokan obat. Belum lagi dengan biaya perawatan di panti rehabilitasi yang tidak sedikit memakan biaya.

Selain mendata dan membantu ribuan ODGJ, hingga saat ini ia telah berhasil membesakan 30 orang dari dalam pasungan, 8 diantaranya telah berangsung pulih kondisinya.

Namun, baginya yang terpenting bukan hanya melepaskan pasung, tapi memperlakukan mereka selayaknya manusia setelah bebas dari pasung. Semuanya ia lakukan secara swadaya bersama para relawan dari KKI.

“Ya, bisa disimpulkan mereka (Pemerintah) respon tapi tidak sesuai yang kita harapkan, yang agak maju  itu dua kabupaten Ende  dan Sikka. kabupaten lain sudah mulai, tapi masih belum.  Ada kabupaten yang tidak mendata sampai sekarang ODGJ, itu berarti mereka  tidak menganggap itu sebagai sebuah penyakit,” ungkap Pastor Avent saat ditanya tentang kepedulian pemerintah.

Ia menceritakan, di NTT ada beberapa puskesmas yang tidak memiliki dokter yang mampu mendiagnosa gangguan jiwa sekalipun di puskesmas tersebut ada obatnya. Bahkan yang lebih parah, kata dia, banyak puskesmas yang tidak memiliki dokter sama sekali.

“Ini parah sekali. Jadi hanya ada perawat, Paling yang di Puskesmas yang pasti ada bidan, karena puskesmas itu 99 persen untuk anak dan ibu, sedangkan 99 persen penyakit lainnya langsung dirujuk ke rumah sakit,” kata dia. 

Tapi hal tersebut sama sekali tidak menyurutkan apalagi menghentikan langkah Avent Saur untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang masalah kesehatan jiwa. Bahkan di forum-forum keagamaan ia selalu menyinggung tentang masalah kesehatan jiwa. Bersama Majelis Ulama Indonesia Kota Ende ia juga selalu mengampanyekan tentang kesehatan jiwa.

”Jadi tidak khusus dari sisi agama saja. Berbagai kesempatan pokoknya kita pakai. Yang penting halal,” ungkap Avent yang disusul tawa.

Mengubah Stigma Lewat Seni

Berbeda dengan Nurhamid dan Avent Saur, Hana Madness punya cara sendiri untuk terus mengampanyekan masalah kesehatan jiwa. Perempuan dengan gangguan bipolar ini memilih jalan seni untuk mengubah stigma masyarakat tentang orang dengan gangguan jiwa.

Sejak 2011 ia dikenal dengan karya doodle artnya yang unik. Hingga pada tahun 2016, ia menjadi salah satu seniman yang dipilih British Council untuk menghadiri Unlimited Festival,  sebuah festival seni visual dan pertunjukan bagi para penyandang cacat di Inggris.

“Saya bertemu banyak orang di sana, terutama mereka yang berfokus pada seni dalam kaitannya dengan gangguan kejiwaan, dan saya pulang dengan banyak ide,” kata Hana kepada VIVA.

Visit Cianjur to Make a Film

                                                       Hana dan James saat di CIanjur

Pada 2017 lalu, bahkan ia juga menggelar sebuah pameran yang seluruh karyanya terinspirasi dengan masalah kesehatan jiwa. Ia membuat karakter doodle art unik yang kemudian ia beri nama, skizo, bipo, medco dan beragam nama lainnya yang berkaitan dengan gangguan kesehatan jiwa. Hingga dalam kunjungan terakhirnya ke Inggris beberapa lalu, ia berhasil dipertemukan dengan seniman dan aktivis Inggris, James The Vacuum Cleaner.

Dengan didanai oleh British Council, Hana dan James bahkan menjadi bagian dari event seni dan disabilitas pertama dan terbesar di Indonesia, Festival Bebas Batas di Galeri Nasional. Dalam festival ini, ia dan James mengangkat tema spesifik yakni “In Chains", yang akan mengekspos tema Pasung.

“Sebagian besar orang Indonesia percaya bahwa gangguan kejiwaan adalah hukuman dari Tuhan atau dimiliki oleh Setan, sehingga mereka akan menyembunyikan orang dari semua orang dan menempatkan mereka dalam rantai. Ini adalah masalah yang sangat penting dan kami ingin mendidik orang melalui seni bahwa penyakit gangguan psikiatri dapat diobati,” kata dia.

Foto bersama dengan Komunitas Istana KSJ

                                            Foto bersama dengan Komunitas Istana KSJ

Dalam riset untuk pamerannya ia juga sempat mengunjungi Istana KSJ di Cianjur, sebuah komunitas lokal yang mencoba untuk membantu orang-orang dengan gangguan kejiwaan  dan untuk menghindari praktik pemasungan oleh keluarga mereka. Keduanya juga  mengunjungi Rumah Berdaya Bali, di mana mereka menampung hingga 40 orang dengan skizofrenia. Nantinya ia akan menampilkan sebuah instalasi seni berupa pasungan yang terinspirasi dari tempat pemasungan yang telah ia kunjungi.  Semua rangkaian itu nantinya akan dipamerkan dalam Festival Bebas Batas di Galeri Nasional Indonesia pada 12-29 Oktober 2018.

“Aku jadi belajar bahwa seni bukan hanya sesi terapi untuk membuat kita tetap waras. Seni bagiku adalah  senjata untuk memberi tahu orang-orang apa yang kita  rasakan, karena salah satu hal yang paling sulit untuk menjadi seseorang dengan gangguan kejiwaan adalah bahwa kita tidak selalu dapat mengungkapkan masalah kita,” ungkap Hana. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya