Asa dari Sekolah Bilik di Dusun Terpencil Sumba

SD Mata Wee Tame di Dusun Lolo Wano, Sumba Barat, NTT
Sumber :
  • VIVA/Jujuk Erna

VIVA – Pagi itu matahari bersinar terik, empat anak perempuan dalam balutan kain tenun Sumba menari, sedangkan lainnya kompak mengenakan seragam putih merah. Mereka berkumpul di sisi kiri dari arah kedatangan kami.

Tarian penyambutan selesai dilakukan siswa di SD Mata Wee Tame di Dusun Lolo Wano, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Kamis lalu, 16 Agustus 2018. Ini merupakan SD paralel yang menjadi salah satu Smart Center Project Komunitas 1000 Guru bekerja sama dengan KFC Indonesia pada tahun lalu.

Sementara tahun ini, sebuah perpustakaan yang bisa berfungsi sebagai kelas dengan bangunan kokoh ditambah penyediaan sarana air bersih diresmikan, tepat sehari sebelum perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-73 Kemerdekaan RI.

Ada sekitar 123 siswa yang belajar di sekolah bilik, dengan dinding dari anyaman bambu dan celah cukup besar di bawah atap seng. Bahkan, anyamannya tak rapat dan berlubang besar di beberapa bagian membuat siswa bisa mengintip ke luar.

Bagian dalamnya tak kalah memilukan, ruangannya sempit, beralas tanah dengan beberapa meja, bangku dan papan tulis kayu dengan kondisi seadanya. Lahan dan bangunan yang merupakan swadaya masyarakat itu akan ditinggalkan siswa dan guru jika hujan datang. Air hujan jelas menjadi musuh mereka di bawah bangunan bilik.

Meski begitu, bangunan darurat tersebut baru bisa dinikmati anak-anak sekitar untuk merajut cita-cita mereka pada 2013 silam. Sebelumnya siswa harus menempuh jarak hingga 4 kilometer untuk belajar di sekolah induk. Karena jaraknya yang jauh, mereka kadang memilih nomaden dari Posyandu ke gedung Gereja untuk melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM).  

SD Mata Wee Tame di Dusun Lolo Wano, Sumba Barat, NTT

Kepala Sekolah SD Mata Wee Tame, Enos Mandenas mengatakan bahwa pada awal berdirinya, SD paralel itu hanya memiliki sekitar 40 siswa kelas satu dan dua. Namun kini total siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah tersebut sudah mencapai 123 siswa. Tahun ajaran kemarin, SD ini baru saja meluluskan sekitar 27 siswa kelas enam.

Perjalanan Ayuan Prawida Memadukan Musik Modern dengan Alat Musik Tradisional Sape

"Di sini ada enam kelas dengan seluruh siswa 123 orang. Kami di sini ada enam guru, yang dibantu empat guru kontrak dan satu guru BOS (Bantuan Operasional Siswa)," katanya kepada VIVA, belum lama ini.

KBM dilakukan mulai pukul 07.30 WITA hingga pukul 11.00-12.00 WITA. Dia mengaku program Smart Center Project Komunitas 1000 Guru telah membantu meningkatkan kehadiran siswa ke sekolah. Enos juga berharap, dengan diresmikannya perpustakaan, KBM di SD paralel ini akan semakin baik.

Ni Kadek Astini, Pemilik Sanggar Tari Bali yang Memberikan Ruang Anak Disabilitas Berkarya

Kendati demikian, SD tersebut masih membutuhkan bantuan dan dukungan dari banyak pihak yang peduli dengan pendidikan agar sukses memberikan pendidikan yang layak bagi siswa-siswanya, yang rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan. Meski hidup dalam keterbatasan, tapi mereka punya cita-cita sama seperti anak-anak pada umumnya.

Fedi, Yos dan Victor misalnya. Mereka dengan wajah bahagia mengatakan ingin menjadi tentara dan polisi saat besar nanti. Namun mereka hanya tersenyum ketika ditanya alasannya menjadi tentara dan polisi.

Terpopuler: Kisah Inspiratif Tri Lakmawati hingga Bolehkah Istri Pegang Semua Gaji Suami?

"Saya ingin jadi polisi," kata Victor, siswa kelas enam. Cita-cita yang sama juga dikatakan siswa kelas tiga bernama Henes. Dengan malu-malu, dia mengaku ingin menjadi polisi.

Fedi, Yos dan Victor, siswa di SD Mata Wee Tame

Sementara dengan jarak ratusan kilometer dari SD paralel itu, SD di atas bukit Rapamanu, Desa Mbatakapidu, Waingapu, Sumba Timur masih lebih baik. Jika di SD Mata Wee Tame ada segelintir siswa yang berseragam kebesaran dan tak mengenakan alas kaki atau hanya memakai sandal jepit, siswa-siswa di SDN Rapamanu berpakaian rapi dan beralas sepatu.

Namun tak berbeda dengan siswa-siswa di sana, siswa di SDN Rapamanu di bukit terpencil Waingapu ini, mereka juga punya asa yang sama. Ronaldo contohnya. Siswa kelas tiga di SD yang resmi beroperasi pada 1 Juli 2011 itu, mengaku ingin menjadi polisi.

"Polisi," jawabnya singkat sambil tertunduk malu ketika ditanya ingin jadi apa ketika besar nanti.  

Sementara siswa lain di kelas tiga ketika ditanya oleh para guru relawan dari Komunitas 1000 Guru, rata-rata bercita-cita menjadi polisi, guru dan dokter. Namun, sekali lagi, mereka tak tahu alasannya kenapa ingin berprofesi itu. Meski demikian, asa mereka tak seharusnya padam.

Kalau pendidikan merupakan hak asasi manusia dan kewajiban negara membiayai pendidikan warga negaranya dengan adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia sesuai amandemen UUD 1945 pasal 31, ditambah perhatian, dukungan dan bantuan dari sejumlah pihak maka peluang siswa di dusun-dusun terpencil negeri ini dalam merajut mimpi, tak mustahil bakal menjadi nyata di kemudian hari. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya