Rasanya Mengajar di Atas Bukit Rapamanu, Sumba

SDN Rapamanu di Bukit Rapamanu, Waingapu, Sumba Timur, NTT
Sumber :
  • VIVA/Jujuk Erna

VIVA – Perjalanan menuju Sekolah Dasar Negeri Rapamanu di bukit Rapamanu, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, dari pusat kota sekitar 30 menit dengan berkendara. Hamparan padang savana dengan topografi perbukitan eksotis, menjadi pemandangan yang memanjakan mata menuju ke sana.

Dulunya Tukang Cuci Piring, Pengusaha Ini Kini Punya Harta Rp1.900 Triliun

Bangunan semata wayang di bukit Rapamanu ini menjadi tempat sekitar 70 siswa dari kelas satu hingga enam menimba ilmu. Rata-rata siswa tinggal di perbukitan Rapamanu, yang memerlukan waktu tempuh 20-30 menit atau lebih dengan berjalan kaki untuk sampai ke sekolah.

Sekolah itu bernama SD Negeri (SDN) Rapamanu. SD yang dibangun pada 1 Juli 2011 silam tersebut hanya memiliki empat ruang kelas, dengan satu ruangan disekat untuk memisahkan kelas dua dan kelas empat. Sementara itu, kelas enam menempati bangunan yang juga berfungsi sebagai dapur sekolah.

Kisah Inspiratif Reza Nurhilman dan Titan Tyra, Raih Cuan Berkat Inovasi Produk Lokal

Di sebelah kanannya, ada ruangan perpustakaan dengan sekitar 1.800 judul buku, yang merupakan sumbangan dari pemerintah daerah. Perpustakaan ini juga merangkap sebagai kantor para guru.

SDN Rapamanu di Bukit Rapamanu, Waingapu, Sumba Timur, NTT

Kisah Inspiratif Rifky Bujana Bisri,  Anak Driver Ojol ke University of British Columbia

Di sekolah yang minim fasilitas itu, Kepala Sekolah SDN Rapamanu, Adriana Maraledu mengatakan, ada 10 guru, yang terdiri dari empat guru PNS, empat guru tidak tetap, dua guru magang, dan satu pegawai tata usaha. Totalnya, ada 12 pegawai di SDN Rapamanu, termasuk dirinya.  

Wali Kelas 3 SDN Rapamanu, Ruth Apriani menuturkan, kegiatan belajar dan mengajar (KBM) dimulai pukul 08.00 WITA, namun para siswa sudah datang sejak pukul 07.30 WITA untuk membersihkan ruangan kelas dan pulang sekitar pukul 12.00-13.30 WITA. Ruth yang baru mengajar di SD tersebut pada 2016 lalu, mengaku para siswa semangat pergi ke sekolah meski jarak rumah ke sekolah cukup jauh.

"Ada siswa yang rumahnya di bawah bukit sana dan menyeberangi dua sungai," katanya kepada VIVA, saat kunjungan bersama KFC Indonesia dan Komunitas 1000 Guru untuk penyerahan donasi Share Your Bucket, Jumat 17 Agustus 2018.

Dia menjelaskan, sebelumnya kendala utama ke sekolah adalah soal akses jalan menuju sekolah. Hal itu menyebabkan para siswa dan orangtua yang mengantar, serta para guru harus mencari jalan dan melewati perbukitan dengan mendaki, sehingga membutuhkan waktu tempuh lebih panjang. Namun dengan beroperasinya jalan aspal menuju sekolah pada akhir tahun lalu, kendala itu cukup teratasi.

Sementara itu, guru pendidikan jasmani (penjas), Apli Ane yang telah mengajar di SDN Rapamanu sejak 2015 lalu menambahkan, kendala lain mengajar di SD tersebut adalah fasilitas yang minim. Untuk alat-alat olahraga misalnya, mereka masih menggunakan alat manual dari tiang bambu untuk latihan voli.

"Tidak ada net untuk bola voli, sehingga kami menggunakan alat manual. Meski begitu, saya senang mengajar di sini karena siswa-siswanya semangat bersekolah walau rumah mereka jauh," ujarnya kepada VIVA.

Kepala Sekolah SDN Rapamanu, Adriana Maraledu

Tak cuma itu, fasilitas air bersih juga belum tersedia di sini. Menurut Adriana, sumber mata air jaraknya mencapai 15 kilometer dari sekolah. Akibatnya, mereka harus membeli air satu tanki besar seharga Rp100 ribu yang bisa digunakan hingga satu pekan.

Mengajar sambil traveling

Salah satu pengajar dari Komunitas 1000 Guru bernama Annisa Hadistia menceritakan pengalamannya mengajar sekitar tiga jam di sana. Siang itu, dia bersama para relawan dari Komunitas 1000 Guru berkesempatan mengajar kelas 3. Selain dia, ada sejumlah relawan lain yang mengajar di kelas berbeda.

Dan, konsep mengajarnya adalah belajar sambil bermain, dengan didampingi satu guru setempat untuk setiap kelas. Tema yang diangkat untuk tiap kelas pun tak sama. Untuk kelas tiga, temanya adalah benda mati dan benda hidup.

"Pertama, kami bernyanyi tepuk semangat, lalu menjelaskan benda mati dan benda hidup. Bagi siswa yang bisa menebak, kami beri reward berupa makanan seperti biskuit," ucapnya kepada VIVA.

Menurutnya, para siswa di sana berani bicara, aktif dan tidak malu-malu. Namun, diakuinya, masih ada beberapa siswa yang salah ketika menulis sebuah kata, seperti kurang atau tertukar dengan huruf yang hampir senada.

Relawan dari Komunitas 1000 Guru mengajar di SDN Rapamanu, Sumba Timur, NTT

Meski begitu, wanita dengan panggilan Caca ini mengaku senang dan terharu dengan semangat para siswa. Sebab, meski sekolah dan tempat tinggalnya jauh, anak-anak tersebut semangat ke sekolahnya mengalahkan anak lainnya di kota-kota besar yang transportasinya lebih mudah dan fasilitasnya lengkap.

Melalui Komunitas 1000 Guru, Caca sebelumnya juga pernah mengajar di pedalaman Banten. Dia mencoba kesempatan itu melalui program Traveling and Teaching (TNT). Biasanya, program ini dilakukan selama tiga hari, dengan satu hari mengajar dan dua hari traveling. Kali ini, kegiatan traveling dilakukan di sejumlah destinasi wisata sekitar Sumba dan teaching di SDN Rapamanu.

"Jam 07.00 sampai jam 11.00 mengajar. Mereka menjadi guru yang menyenangkan. Target program ini adalah orang yang ingin berbagi (mengajar) tapi tidak punya waktu lama dan milenial yang suka traveling," kata penggagas Komunitas 1000 Guru, Jemi Ngadiono.

Sementara itu, Komunitas 1000 Guru saat ini sudah ada di 39 regional di seluruh Indonesia, dari Sabang hingga Merauke dengan membantu 35 sekolah bekerja sama dengan KFC Indonesia. Ke depan, mereka menargetkan bisa memperluas program TNT hingga ke Asia Tenggara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya