Merawat Tegangan yang Asyik Puisi dan Pantun Chairil Anwar
- bbc
"Merawat konvensi pantun tapi juga merusaknya di tengah. Ekspresinya sangat padat, diksi bisa dari sehari-hari -artinya kelisanan."
Bentuk terluar dari tegangan ini adalah digunakannya secara bersamaan bentuk pantun dan puisi bebas, bahkan dalam satu puisi. Puisi "Senja di Pelabuhan Kecil (1946) adalah contoh terbaik untuk kasus ini.
Puisi ini berbicara tentang dunia batin kaum remaja yang koyak moyak oleh cinta, lalu mengasingkan diri ke sebuah pelabuhan kecil menuju senja, menurut Zen.
"Jadi bagaimana orang patah hati datang ke sebuah pantai, dan bagaimana dia mengekspresikan kegalauannya, kegundahan hatinya, dalam warna pelabuhan."
Sejatinya, puisi ini merupakan ungkapan hati Chairil untuk Sri Ajati, salah satu wanita yang pernah dekat dengannya, walau dia tidak pernah pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung.
Dalam puisi itu, si subjek lirik membuka pernyataaanya dengan sebuan inversi atau permutasi: . Makna dari larik itu cukup jelas, namun menjadi membingungkan ketika beralih ke larik kedua, terutama karena frasa di ujungnya: .
Lukisan suasana yang meruang (gudang, rumah tua) tiba-tiba terlempar ke dalam kenangan (cerita) yang tidak bisa diindrai.
Fasa ini, bagi Zen, secara khusus berbicara kembali tentang ketegangan yang selama ini menjadi permanen dalam puisi-puisi Chairil Anwar.