Sanita, Gadis Muda yang Menolak Tunduk Pada Pernikahan Anak
- istimewa
VIVA – Sore itu, delapan tahun lalu, Sanita akhirnya memberanikan diri menolak perjodohan yang dilakukan orangtuanya. Usianya baru 15 tahun ketika orangtua berniat menikahkannya dengan seorang pemuda desa. Itu adalah kali kedua, sebelumnya ia juga sempat ingin dinikahkan saat usianya masih 13 tahun.Â
"Berapa banyak sih uang yang dihabiskan untuk sekolahku, untuk hidupku?" tanya Sanita dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
"Banyak," jawab singkat kedua orangtuanya.Â
"Kalau aku diniikahkan, berarti bapak sama ibu jangan berharap apapun dari aku. Karena aku sudah punya keluarga sendiri, sudah punya keluarga mertua, dan aku punya bapak ibu," lanjut Sanita.
"Tapi kalau ibu dan bapak mengizinkanku melanjutkan pendidikan, aku akan turutin semua keinginan ibu sama bapak," sambungnya menutup pembicaraan.Â
Suasana jadi hening. Dengan mata masih berkaca-kaca, ketiganya saling menatap dalam-dalam. Usai momen sunyi itu, orangtua Sanita berpikir ulang. Niatan untuk menikahkannya pun akhirnya diurungkan.
Sejak saat itu, Sanita aktif mengampanyekan bahaya yang mengintai pada tiap pernikahan anak. Bersama dengan forum anak di desa tempatnya besar, ia juga mendorong pemerintah desa untuk membuat peraturan yang menegaskan bahwa seorang hanya boleh menikah saat usianya telah mencapai 18 tahun.Â
"Karena aku betul-betul merasakan sendiri tekanannya. Dan dua temenku sendiri itu satunya meninggal saat hamil 16 tahun, saat 7 bulan itu karena masalah kandungan, dan ada juga yang baru menikah tiga tahun sudah cerai," katanya kepada VIVA.Â
Kini, delapan tahun berlalu, perempuan asal Rembang, Jawa Tengah tengah itu bukan hanya telah berhasil meraih gelar sarjana. Anak dari seorang kuli bangunan dan penjual toko kelontong itu kini juga makin aktif menyuarakan pencegahan perkawinan usia anak.
Agen Perubahan
Sanita yang saat ini menetap di Lembata, Nusa Tenggara Timur, juga terlibat dalam Perempuan Fenomenal, sebuah komunitas yang sangat peduli terhadap isu perempuan. Ia juga bekerja untuk Plan International, sebuah lembaga yang juga fokus pada isu perlindungan anak.Â
"Aku sekarang di Child and Youth Participation, jadi gimana anak dan anak muda bermakna, jadi gimana mereka mendapatkan wadah untuk terliibat dalam pembangunan tingkat desa hingga kabupaten, jadi pembangunan sebuah desa tidak hanya pemerintah saja, juga perlu suara anak," katanya.
Salah satu misinya adalah bagaimana memastikan anak terlibat dalam pembangunan dan menjadi agen perubahan.
Kini, meski usianya sudah cukup matang, Sanita mengaku tetap tak ingin buru-buru memutuskan untuk menikah. Ia mengakui, kedua orangtuanya semakin terbuka terhadap pilihan-pilihan yang diambilnya dan menghargai tiap langkahnya.Â
"Menurutku perubahan terbesar kalau orang terdekat sadar, aku kagum sama ibu bapakku mereka mau belajar juga dengan dunia, anaknya, dan aku menjelaskan rencana masa depanku, dan impian-impianku," Sanita menambahkan.
Dia pun yakin, jodoh tak kemana. Sanita tak mau ambil pusing kapan ia akan menikah.Â
"Aku bilang ke mereka, 'selama ini kan selalu bapak ibu yang mengorbankan banyak hal, sekarang beri waktu aku menikmati duniaku, dan membahagiakan kalian,'" tuturnya.
Menurut Sanita, tiap perempuan berhak atas kehidupan dan pendidikan yang lebih baik. Perempuan juga berhak memutuskan kapan ia akan menikah atau bahkan tidak menikah sama sekali.
Untuk anak muda yang punya pengalaman sama dengannya, Sanita mengakui masalah ini bukan perkara mudah. Namun, mendorong untuk memberi pemahaman akan mimpi pada orangtua bisa terus dilakukan.
"Perkawinan usia anak bukan solusi untuk keluar dari kemiskinan. Solusi untuk keluar dari kemiskinan adalah pendidikan yang layak baik formal, maupun non-formal," katanya tegas. (ren)