Kisah Mengerikan di Balik Penculikan Gadis-gadis di India
- Pixabay/pexels
Setengah juta anak di India dilaporkan hilang setiap tahun. Sonia Faleiro menemui orang tua seorang gadis berusia 13 tahun yang diculik; gadis itu ditarik ke dalam mobil saat berjalan di sisi ibunya di pinggir jalan raya kemudian dibawa lari.
Pada suatu pagi ketika saya menemui Ram Bharan, seorang buruh batu bata di desa terpencil di negara bagian Uttar Pradesh. Keluarganya tengah mempersiapkan acara pernikahan.
Mempelai perempuannya adalah anak Bharan yang berusia 15 tahun. Gadis remaja jelita itu duduk di lantai gubuk lumpur yang menjadi tempat tinggal mereka; tubuhnya dibaluri kunyit, dalam ritual pranikah yang dimaksudkan untuk memurnikan kulit.
Namun tak seperti upacara pernikahan lain yang pernah saya hadiri, di upacara satu ini tak ada musik, tari-tarian, bahkan tak tercium suasana suka cita. Suasananya justru sarat dengan kesedihan.
Ram Bharan sebenarnya tidak berencana menikahkan anaknya di usia yang masih begitu muda. Laki-laki itu buruh harian yang buta huruf, dan seperti ayah lainnya, ia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Usia minimal untuk pernikahan yang sah secara hukum adalah 18 tahun bagi perempuan, dan Ram Bharan berharap si buah hati bisa menyelesaikan pendidikannya.
Tapi pada bulan April tahun lalu, anak bungsunya diculik. Gadis itu, katanya kepada saya, berusia 13 tahun, sembilan bulan, dan tiga hari.
Mereka adalah kaum Shakya, ujar Bharan, menyebut nama kastanya. Saya tidak bertanya, menyebut kasta termasuk dalam perkenalan di daerah ini. Shakya adalah kasta rendah, begitu termarjinalkan sehingga mereka menjadi penerima kebijakan afirmatif atau `diskriminasi positif`.
Hidup sebagai kasta rendah berarti hidup yang selalu diliputi rasa tidak aman dan ketakutan. Dengan penculikan anaknya, ketakutan Ram Bharan menjadi nyata.
Sehari setelah anaknya hilang, ia melapor ke polisi, tuturnya kepada saya.
Bharan tak punya ongkos naik bus, jadi ia berjalan kaki. Butuh dua jam perjalanan untuk sampai ke kantor polisi. Ia menceritakan kepada petugas apa yang diketahuinya.
Salah satu penculiknya adalah tetangga Bharan. Polisi mendatangi desanya untuk mencari laki-laki itu, dan ketika mereka gagal menemukannya, mereka menghancurkan gubuk si laki-laki sebagai pelajaran. Lalu mereka pergi, dan tak pernah kembali lagi.
Ketika saya mengunjungi kantor polisi, ternyata bahkan tidak ada catatan tentang laporan Bharan. Petugas yang berbicara kepada saya bersikap acuh tak acuh. "Anak perempuan suka kabur," ujarnya.
Saya tidak terkejut dengan ucapannya. Mencari anak hilang butuh waktu, tenaga kerja, dan biaya, dan polisi di India kekurangan semua ini. Supaya tidak perlu membuka penyelidikan, mereka bersikap seakan tidak ada tindak kejahatan.
Savitri bahkan bukan remaja perempuan pertama yang hilang di daerah itu. Menurut desas-desus di desa, tetangga yang menculiknya berhubungan dengan jaringan perdagangan manusia yang memasok anak-anak gadis ke rumah-rumah bordil di Mumbai dan Delhi. Ketika anak-anak menghilang di India, seringkali karena penculikan.
Tapi ada anak yang memang kabur demi mengusahakan hidup yang lebih baik bagi diri mereka sendiri. Sedikitnya setengah dari anak-anak di seluruh India hidup dalam kemiskinan parah. Mereka tidak punya cukup makanan atau air minum bersih di rumah mereka; beberapa bahkan rumah pun tak punya.
Beberapa anak dijual oleh orang tua mereka sendiri. Terkadang anak perempuan yang tidak diinginkan sengaja dibiarkan tersesat di pasar yang sibuk.
Pemerintah belum memberikan upaya maksimal. Dan bahkan kalaupun mereka memperkuat polisi, sekadar menemukan anak yang hilang tidak menyelesaikan akar masalahnya yakni perlindungan dan perhatian bagi anak-anak.
India berulang kali mengutuk meluasnya penculikan anak yang mereka sebut sama jahatnya dengan terorisme.
Ketika saya kembali ke Ram Bharan untuk memberitahunya apa yang saya dapatkan di kantor polisi, ia teringat sesuatu.
Polisi meminta foto anak perempuannya itu, ujarnya. Tapi ia tak pernah punya uang untuk membuat foto, tidak pula untuk foto identitas yang dibuat di kios sederhana di pasar desa.
Kini anaknya telah tiada, ia mendesah. Dan ia bahkan tak punya tanda mata apa pun untuk mengingatnya.