Sejarah Cap Go Meh, Malam ke-15 Tahun Baru China
- FOTO: Agustinus Hari/VIVA.co.id
VIVA – Di Indonesia, keturunan Tionghoa akan merayakan Cap Go Meh besok, Minggu, 4 Maret 2018. Cap Go Meh melambangkan hari ke-15 bulan pertama Tahun Baru China atau Imlek atau hari terakhir dari perayaan Imlek.
Dikutip dari berbagai sumber, kata Cap Go Meh berasal dari dialek Hokkian. Cap Go berarti ke-15 dan Meh berarti malam, sehingga diartikan sebagai malam ke-15 sejak perayaan Imlek. Bagi orang Tionghoa, Tahun Baru China adalah hari libur panjang, yang dirayakan selama dua pekan penuh. Mulai dari hari pertama bulan pertama dalam kalender China dan berakhir di hari ke-15.
Perayaan Cap Go Meh tidak hanya dirayakan di Indonesia, tapi juga negara lain meski dengan nama dan cara yang berbeda. Perayaan ini dikenal dengan Festival Lampion, seperti di Korea Selatan, Malaysia dan Singapura. Sementara di negara asalnya atau China, Cap Go Meh disebut Festival Yuanxiao atau Shangyuan dan di Hong Kong disebut Yuen Siu.
Menurut tradisi Asia Timur, pada awal tahun baru, ketika ada bulan purnama yang cerah, seharusnya ada ribuan lampion warna-warni yang bisa dinikmati banyak orang. Pada saat ini, orang merayakannya dengan memasang lampion, makan nasi ketan dan kumpul dengan keluarga.
Soal asal mula Cap Go Meh atau Festival Lampion banyak versi. Namun perayaan ini dikaitkan dengan merayakan dan menumbuhkan hubungan positif antara manusia, keluarga, alam dan dewa.
Baca juga:
Jangan Lewatkan Karnaval Budaya Cap Go Meh di Glodok, Besok
Salah satu kepercayaan yang paling diyakini bahwa Cap Go Meh pada mulanya dirayakan sebagai penghormatan kepada Dewa Thaiyi. Dewa Thaiyi sendiri dianggap sebagai dewa langit tertinggi oleh Dinasti Han (206 SM-221 M).
Dewa ini diyakini memiliki 16 naga dan dapat mengendalikan kekeringan, badai, kelaparan atau wabah pada manusia. Penghormatan untuk Dewa Thaiyi dimulai oleh Qinshihuang, kaisar pertama China, yang akhirnya diteruskan oleh semua kaisar setiap tahunnya.
Upacara penghormatan tersebut sebelumnya dilakukan pada malam hari dan digelar tertutup, namun pada era Dinasti Han, perayaan dibuka untuk umum dan rakyat biasa diizinkan untuk merayakannya bersama. Sejak saat itu, pada malam hari, orang akan berkumpul di jalanan dengan membawa berbagai lampion dengan berbagai bentuk dan hiasan. (ase)