Keren, Pelajar Indonesia Bantu Kurasi Museum di Italia

Alessya menerangkan koleksi artefak pilihannya kepada pengunjung pameran.
Sumber :
  • KBRI Roma

VIVA – Pameran The Making of a Point of View yang digelar di Museum Etnografi Luigi Pigorini, Roma, Italia tanggal 24 Februari hingga 1 April 2018,  tidak hanya mengikutsertakan enam mahasiswa Indonesia yang awam arkeologi dan tengah menimba ilmu di Italia, tapi salah satunya juga memamerkan artefak asal Nias, yang selama ini belum pernah dipamerkan untuk umum.

Dalam pameran tersebut, enam mahasiswa Indonesia dari berbagai bidang studi diminta memilih koleksi artefak yang paling menarik menurut sudut pandang mereka. Keenam benda warisan budaya tersebut merupakan bagian dari sekitar 1.500 artefak Nusantara yang dimiliki museum sejak tahun 1980-an, namun belum pernah ditampilkan untuk umum. Koleksi tersebut seluruhnya diperkirakan berasal dari abad ke-19.

“Benda-benda ini merupakan pemberian raja-raja setempat sebagai kenang-kenangan bagi para bangsawan dan raja-raja Italia pada saat melakukan penjelajahan ke tanah Nusantara di masa itu”, kata duo wanita kurator pameran, Loretta Paderni dan Rosa Anna Di Lella dalam rilis dari KBRI Roma yang diterima VIVA, Minggu 25 Februari 2018.

Aleesya Prawita Dewi, mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh studi ilmu politik dan hubungan internasional di Universitas La Sapienza, Roma, memilih keris Jawa dengan alasan benda tersebut kerap digunakan dalam prosesi adat khas daerah asal pamannya. Ketertarikannya terhadap keris telah membantu dirinya mengenali lebih baik kebudayaan leluhur gadis yang lahir dan besar di Roma tersebut.

Alasan serupa juga menjadi dasar Evan Martinus Mahulae, mahasiswa Studi Transportasi Universitas La Sapienza, yang mengangkat ulos dan gendang Batak. Sementara itu, kenangan masa kecil menjadi motif pemilihan wayang bagi Pradini Viciana, mahasiswi Seni Budaya di Rome Business School.

“Waktu kecil, saya bersama kakak dan adik sering bermain wayang di rumah paman. Ayah juga dulu sering mengajak menonton pertunjukan wayang kulit. Karena itu, spontan saya memilih wayang untuk ditampilkan”, ucap gadis asal Bandung yang akrab dipanggil Vici tersebut.

Mahasiswa Indonesia, Vivaldi Liman dengan koleksi artefak pilihannya.

Rumah Joglo

Vivaldi Liman, mahasiswa Studi Politik Universitas La Sapienza, memilih miniatur rumah joglo dari bambu karena mengingatkannya pada liburan masa kecil ke rumah nenek. Adapun gong tanah Dayak dipilih Dwi Ismawati, mahasiswi Teknik Mesin Universitas La Sapienza, karena dirinya juga memiliki instrumen serupa di rumah.

Alasan filosofis mendasari Ahmad Anas Arifin, mahasiswa Teknik Mesin Universitas La Sapienza asal Kediri, dalam memilih patung Tau Tau dari Tana Toraja. Artefak tersebut mengingatkannya pada dimensi kehidupan manusia setelah meninggal dunia.

Selain sudut pandang keenam anak muda ini, yang bertema 'kilas balik', kurator pameran juga mengangkat tiga perspektif berbeda untuk ditampilkan.

Tema ‘Bercerita’ mengangkat ragam artefak dari tanah Nias, terinspirasi buku terbitan tahun 1890 berjudul “Un Viaggio A Nias (Sebuah Perjalanan ke Nias)” karya Elio Modigliani mengenai perjalanannya ke Nias tahun 1886. Instalasi ini juga menampilkan berbagai foto kehidupan Suku Nias di masa silam.

Untuk perspektif ‘Asal Muasal Detail’, seniman asal Malaysia yang saat ini menetap di Roma, H.H. Lim, bersama-sama kedua kurator melakukan eksplorasi terhadap benda-benda yang dijadikan senjata dan perlengkapan perang pada masa lalu dan ditampilkan dalam suatu instalasi bergaya kontemporer.  

“Perlengkapan perang tersebut menggambarkan mekanisme masa lalu yang dilakukan guna mencari solusi atas permasalahan yang ada. Hal ini kami interpretasikan sebagai proses seorang artis yang berjibaku menghasilkan suatu karya di studio seninya”,  ucap Lim.

Cara Jitu Jatiluwih Jadi Warisan Budaya Dunia
Para pelajar Indonesia yang menjadi asisten kurator berpose dengan KBRI Roma.

Sementara itu, tema ‘Transformasi’ ditampilkan instalasi berisi foto-foto koleksi artefak karya para fotografer muda migran di Italia yang tergabung dalam Laboratorium Fotografi Centro CivicoZero. Peralihan dari medium tiga dimensi menjadi gambar artistik menjadikan proses pengenalan warisan budaya tersebut semakin menarik.

Direktur Museum, Filippo Gambari, dalam pembukaan pameran tanggal 23 Februari 2018 malam, menyatakan bahwa eksibisi ini tidak hanya ditujukan untuk menampilkan artefak dari Indonesia dan Malaysia pada abad ke-19 belaka.

“Keempat sudut pandang dijadikan tema instalasi karya sebagai upaya menjembatani pendekatan sejarah dengan bahasa seni kontemporer serta narasi otobiografi guna menghasilkan materi dasar bagi proses berpikir dan kreasi manusia. Semua orang memiliki perspektifnya masing-masing dalam melihat sebuah objek”, ujarnya.

Promosi Indonesia

Duta Besar RI untuk Italia, Esti Andayani, dalam sambutannya pada kesempatan tersebut menyampaikan apresiasi atas kerja keras berbulan-bulan dari kurator dan seluruh pihak yang terlibat sehingga mampu menghasilkan sebuah pameran benda bersejarah yang unik dan menarik.

Dia berharap pameran ini dapat membuat semakin banyak warga Italia yang mengenal dan tertarik berkunjung ke Indonesia.

Kegiatan ini sendiri diselenggarakan sebagai bagian dari SWICH – Sharing A World of Inclusion, Creativity and Heritage, sebuah proyek kolaborasi sepuluh museum di berbagai negara Uni Eropa yang bertujuan meningkatkan peran museum etnografi sebagai pusat interaksi budaya di tengah meningkatnya interaksi masyarakat Eropa dengan imigran asing.

Selain melibatkan para warga asing untuk pemilihan karya, perakitan ornamen dan instalasi kayu pameran dilakukan para pencari suaka dari berbagai negara di Afrika yang tergabung dalam Asosiasi K_Alma. Lembaga yang didirikan pada tahun 2016 ini memberikan pelatihan pertukangan untuk para migran di Italia guna bekal hidup mandiri bagi mereka. (ren)

Penghargaan Khusus untuk Pahlawan Warisan Budaya Indonesia
 Repatriasi 288 Artefak Bersejarah dari Belanda

Proses Panjang, 288 Artefak Bersejarah Milik Indonesia Berhasil Direpatriasi dari Belanda

Seluruh koleksi yang berhasil direpatriasi akan dikelola oleh Indonesian Heritage Agency dan dipamerkan dalam rangka pameran kembali Museum Nasional Indonesia

img_title
VIVA.co.id
24 September 2024