Arsitek Ini Yakin Rumah dari Bahan Alam Lebih Tahan Bencana
- VIVA/ Bimo Aria
VIVA – Letak geografis Indonesia yang berada dalam "cincin api", membuat beberapa daerah di Indonesia rawan akan bencana alam, terutama gempa. Masih hangat di ingatan, bagaimana gempa meluluhlantahkan beberapa daerah di Lombok dan juga sejumlah daerah di Sulawesi Tengah.
Mayoritas rumah yang dibangun dengan menggunakan semen dan beton pun rata dengan tanah. Sayangnya, sangat jarang masyarakat Indonesia yang menerapkan rumah tahan bencana.
Padahal, menurut Yu Sing, arsitek dan pendiri Studio Akanoma, Indonesia sendiri memiliki banyak contoh rumah tradisional dengan material alam yang cenderung lebih tahan terhadap gempa. Misalnya, dinding-dinding rumah bisa dibuat dari tangkai dan pelepah pohon sagu. Atau, atap rumah dibangun dengan menggunakan daun nipah.
Lantas, mengapa rumah ini justru tidak populer dan kurang diminati oleh masyarakat?
"Barangkali dugaan saya karena kita tidak bisa mengelola kekayaan, maka kita tinggalkan dan menggunakan teknologi modern. Bahkan standar pemerintah, rumah alami tidak layak huni," kata Yu Sing saat ditemui pada Kongres Kebudayaan Indonesia di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Jumat 7 Desember 2018.
Ia melanjutkan, akibatnya, banyak masyarakat yang justru lebih mengejar status sosial dan mengganti rumahnya dengan rumah permanen, yang dalam banyak kasus justru cenderung tidak tahan terhadap bencana. Ini juga membuat masyarakat tidak lagi tergantung dengan material alam.
"Makannya, ketersediaan alam hilang. Begitu punya kesadaran untuk kembali bahan-bahannya sudah hilang. Perlu waktu yang panjang untuk sadar, untuk mengelola, menanam, mereboisasi dan kembali ke sana," kata dia.
Oleh karena itu, sebagai arsitek yang fokus pada material alam, ia terus mengampanyekan hal tersebut. Dia juga memberikan contoh-contoh bangunan dari material alami. (rna)