Demi Cantik Pakai High Heels, Wanita Ini Operasi Jari Kaki
- REUTERS / Charles Platiau
VIVA – Pepatah mengatakan bahwa untuk menjadi cantik, harus mengalami rasa sakit. Dan salah satunya dibuktikan oleh seorang wanita yang harus melakukan prosedur toe reduction atau mengoperasi jari kakinya agar bisa selalu tampil anggun dengan menggunakan high heels.
Dilansir dari laman New York Post, Selasa, 28 November 2017, seorang publisis berusia 70 tahun, Peggy Siegal mengungkapkan dalam bukunya berjudul How to Look Like Me at 70, mengenai daftar dokter favoritnya. Peggy tidak segan membuka segala rahasia dirinya, termasuk sejarahnya melakukan pembedahan pada jari kakinya oleh dokter bedah favoritnya agar bisa tetap cantik mengenakan high heels.
Dia menggunakan jasa Dr. Richard Frankel, podiatrisnya selama 30 tahun. Selain itu, Dr. Jonathan Levy yang membuatnya terbebas dari jempol kaki bengkok (bunion) dan bintil di sendi jari kaki (corns).
Menurutnya, sebagai seorang yang kerap menghadiri acara, corns menjadi masalah besar. Namun, Dr. Levy melakukan reduksi jari kaki dengan meluruskan tulang jari kaki yang bengkok, tidak benar-benar memotong atau mengoperasi jari kaki. Selain itu, dia menghilangkan corns, sehingga penampilan kaki lebih cantik ketika mengenakan high heels.
Sayangnya, tidak semua ahli sependapat dengan yang dilakukannya. Prosedur ini, tentunya memberi risiko yang cukup tinggi.
"Anda harus sangat berhati-hati saat menghilangkan beberapa tulang atau mengganti strukturnya. Sebab, itu bisa berdampak pada keseimbangan tubuh, cara berjalan maupun menyeimbangkan tubuh secara keseluruhan," ujar ahli non-bedah kaki, Dr. Rock Positano.
Untuk itu, ia menyarankan kaum wanita mengganti alas kaki yang lebih pas bagi kaki dan jari kaki. Dokter Rock menyebutkan beberapa merek sepatu seperti Roger Vivier atau Prada.
"Mungkin sedikit mahal harganya, tapi kalau memang bisa memberi kesehatan lebih baik untuk kaki, kenapa tidak?" ujarnya.
Dokter Rock menjelaskan, pemilihan operasi atau bedah jari kaki dapat memicu beberapa dampak buruk seperti penambahan berat badan dan sulit beristirahat selama pemulihan yang banyak menghabiskan waktu di kursi roda. Bahkan, jika ada komplikasi, bisa berdampak pada perubahan gaya hidup.
"Kami melihat 10 hingga 20 pasien per tahunnya yang depresi karena tidak lagi bisa berjalan secara sempurna atau normal," ujar dia. (art)