Mengulik Filosofi di Balik Tenun Meumere
Rabu, 27 Mei 2015 - 10:21 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Linda Hasibuan
VIVA.co.id
- Kegiatan menenun identik dengan wanita, karena memang hanya wanita yang mampu melakukannya dengan sabar. Kini menenun sudah menjadi tradisi yang patut dihargai. Bagaimana tidak, setiap momen yang ada selalu dilakukan dengan suka cita yang didahului dari membuat benang dari kapas.
Tradisi menenun sudah lama ada sejak dahulu dan merupakan warisan budaya dari nenek moyang yang harus dijaga. Banyak daerah-daerah terpencil yang masih menerapkan tradisi tersebut seperti di Desa Nita, Maumere.
Uniknya di dalam desa tersebut terdapat tempat bernama Lepo Lorun yang artinya rumah tenun yang merupakan jenis usaha skala rumah tangga dengan tenaga kerja para wanita.
"Saya merasa harus mendorong para warga untuk menjaga warisan yang secara perlahan mulai ditinggalkan sekaligus memberdayakan perajin tenun ikat tradisional seperti para gadis dan ibu-ibu di desa. Dana yang kami peroleh merupakan dari swadaya masyarakat," ujar Alfonsa Horeng selaku pendiri Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun saat ditemui di Plaza Indonesia, Jakarta di sela acara Plaza Indonesia Film Festival.
Sedikit yang tahu bahwa ternyata di Desa Nita memiliki tradisi bahwa pengukuran tingkat dewasa seorang wanita dilihat dari bisa atau tidaknya dia menenun. Jadi para perempuan di desa Nita telah dipersiapkan dari kecil untuk belajar menenun.
Sebab pada akhirnya tenun yang dibuat dari tangannya sendiri akan menjadi mas kawin untuk diantarkan kepada calon suaminya, dan sebaliknya calon suami juga akan memberikan gelang dari gading gajah sebagai mahar.
Â
Dari pengalamannya bersama para pengrajin di desa-desa, Alfonsa mengatakan, proses pembuatan tenun ikat dengan zat pewarna alam ini memakan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan menggunakan pewarna sintetis.
"Semua harus melewati beberapa tahap agar dapat menghasilkan warna yang diinginkan dengan kualitas yang baik," kata lulusan sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian Unika Widya Mandala Surabaya.
Selain penghasil tenun ikat, desa ini juga banyak dikunjungi wisata lokal dan wisatawan asing seperti Eropa dan Amerika. Biasanya mereka datang untuk melakukan penelitian tentang kehidupan dan ingin mengetahui filosofi motif tenun.
"Mereka yang datang biasanya sudah jenuh dengan kehidupan modern sehingga memerlukan kegiatan menyusuri desa terpencil tradisional namun penuh kebudayaan demi memenuhi keseimbangan hidup," katanya.
Untuk pemasarannya diakui Alfonsa, kendati telah mengikuti beberapa pameran berskala nasional, pasaran bagi produk tenun ikat yang dihasilkannya masih sangat terbatas.
Karena itu yang harus digencarkan adalah memperluas jaringan pemasaran dan pengenalan ke berbagai sentra produksi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Upaya yang telah dilakukan adalah menggunakan satu etalase di Bandara Waioti Maumere untuk memajang dan menjual produk kerajinan yang dibuat dari bahan tenun ikat tradisional.
Baca Juga :
Mengagumi Keindahan Warna Tekstil Indonesia
Baca Juga :
Tips Praktis Rawat Kain Tenun
"Saya merasa harus mendorong para warga untuk menjaga warisan yang secara perlahan mulai ditinggalkan sekaligus memberdayakan perajin tenun ikat tradisional seperti para gadis dan ibu-ibu di desa. Dana yang kami peroleh merupakan dari swadaya masyarakat," ujar Alfonsa Horeng selaku pendiri Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun saat ditemui di Plaza Indonesia, Jakarta di sela acara Plaza Indonesia Film Festival.
Sedikit yang tahu bahwa ternyata di Desa Nita memiliki tradisi bahwa pengukuran tingkat dewasa seorang wanita dilihat dari bisa atau tidaknya dia menenun. Jadi para perempuan di desa Nita telah dipersiapkan dari kecil untuk belajar menenun.
Sebab pada akhirnya tenun yang dibuat dari tangannya sendiri akan menjadi mas kawin untuk diantarkan kepada calon suaminya, dan sebaliknya calon suami juga akan memberikan gelang dari gading gajah sebagai mahar.
Â
Dari pengalamannya bersama para pengrajin di desa-desa, Alfonsa mengatakan, proses pembuatan tenun ikat dengan zat pewarna alam ini memakan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan menggunakan pewarna sintetis.
"Semua harus melewati beberapa tahap agar dapat menghasilkan warna yang diinginkan dengan kualitas yang baik," kata lulusan sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian Unika Widya Mandala Surabaya.
Selain penghasil tenun ikat, desa ini juga banyak dikunjungi wisata lokal dan wisatawan asing seperti Eropa dan Amerika. Biasanya mereka datang untuk melakukan penelitian tentang kehidupan dan ingin mengetahui filosofi motif tenun.
"Mereka yang datang biasanya sudah jenuh dengan kehidupan modern sehingga memerlukan kegiatan menyusuri desa terpencil tradisional namun penuh kebudayaan demi memenuhi keseimbangan hidup," katanya.
Untuk pemasarannya diakui Alfonsa, kendati telah mengikuti beberapa pameran berskala nasional, pasaran bagi produk tenun ikat yang dihasilkannya masih sangat terbatas.
Karena itu yang harus digencarkan adalah memperluas jaringan pemasaran dan pengenalan ke berbagai sentra produksi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Upaya yang telah dilakukan adalah menggunakan satu etalase di Bandara Waioti Maumere untuk memajang dan menjual produk kerajinan yang dibuat dari bahan tenun ikat tradisional.
Baca Juga :
Kisah Perjuangan Masyarakat Lokal lestarikan Tenun
Dipelopori oleh seorang ibu dari desa Biboki, NTT.
VIVA.co.id
16 Maret 2016
Baca Juga :