Melestarikan Batik Tulis Batang, Sebuah Warisan Budaya yang Terancam Punah

Batik Tulis Batang
Sumber :
  • ist

Batang, VIVA – Batik Tulis Batang, dengan segala keunikan dan kekhasannya, kini tengah berada di ambang kepunahan. Miftakhutin (47), bersama empat rekan sesama pembatik khas Batik Batang Rifaiyah, melantunkan sholawat ketika canting, alat yang berfungsi sebagai mata pena untuk mengeluarkan malam atau lilin, menggores permukaan kain.

Jadi Pelopor Pertama di Dunia, Batik Tulis Berkancing Emas Raih Rekor Muri

Mereka sedang menjalani proses canting, yang merupakan tahap utama dalam pembuatan Batik Tulis Batang. Proses ini semakin sulit ditemukan di pasaran, mengingat semakin menurunnya jumlah pengrajin yang mampu membuat batik tradisional tersebut. Scroll lebih lanjut ya.

Sholawatan menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pembuatan Batik Tulis Batang yang sudah ada sejak abad ke-17. Mayoritas pembatik pada masa itu adalah santriwati dari Kyai Haji Ahmad Rifai, dan tradisi ini telah diteruskan secara turun temurun hingga kini.

Tren Belanja Online Kuartal IV 2024, Fashion Lokal dan Batik Jadi Sorotan

“Sedih. Sepuluh tahun ke depan, mungkin sudah tidak ada lagi pengrajin Batik Tulis Batang premium,” ungkap Utin, yang merupakan salah satu pembatik senior.

Inovasi Teknologi, Batik Jinggar Kembangkan Usaha hingga Go International

Utin melanjutkan bahwa saat ini hanya tersisa tiga pembatik tulis premium, dan hanya dua orang yang masih aktif, karena faktor usia yang semakin sepuh. Keprihatinan Utin sangatlah beralasan.

Pada tahun 2012, ia mendirikan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tunas Cahaya untuk mengumpulkan pengrajin Batik Tulis Batang yang biasanya bekerja secara individu di rumah. Hasil karya mereka sering kali diwariskan hanya kepada anak-anak mereka, dan jika dijual, harganya sangat murah.

“Pola ini membuat minat anak muda untuk membatik semakin turun. Karena untuk menghasilkan sebuah batik tulis premium dibutuhkan waktu hingga satu tahun bahkan lebih,” jelas Utin.

Batik Tulis Batang

Photo :
  • ist

Bahkan, untuk batik tulis biasa, harga yang ditawarkan hanya sekitar Rp750 ribu, yang mana belum tentu cukup untuk menutup biaya bahan dan proses produksinya.

Sebelum pandemi COVID-19, KUB Tunas Cahaya berhasil menyatukan sekitar 20 pembatik Batik Tulis Batang Rifaiyah. Namun, pasca-pandemi, jumlah tersebut tergerus menjadi hanya tujuh pembatik.

“Kebanyakan pembatik kini bekerja di sektor lain seiring dengan semakin sulitnya ekonomi,” ujar Utin.

Oleh karena itu, saat ini KUB Tunas Cahaya menetapkan harga yang lebih layak untuk Batik Tulis Batang, yakni Rp1,2 juta untuk batik tulis biasa,Rp2,5 juta untuk batik tulis sedang, Rp4 juta untuk batik tulis halus, dan lebih dari Rp5 juta untuk batik tulis premium.

Tidak jauh dari rumah Utin, di desa Kalipucang, Umriyah (85), yang lebih dikenal dengan panggilan Ma Si’um, tetap setia dengan cantingnya. Meski sudah berusia lanjut, setiap bulan ia masih menghasilkan satu atau dua karya Batik Tulis Batang berkualitas biasa. Motif Alas Roban, yang menggambarkan parade binatang, merupakan salah satu ciri khas dari karyanya. Motif tersebut memiliki keunikan, yaitu tubuh binatang yang digambar terpotong, sesuai dengan ajaran Rifaiyah yang melarang menggambar makhluk hidup secara utuh.

Selain motif Alas Roban, Batik Tulis Batang juga dikenal dengan teknik pewarnaan yang khas, yaitu teknik tiga pewarnaan atau "tiga negeri", serta teknik warna sogan ireng-irengan, yang menghasilkan warna coklat kehitam-hitaman. Dalam proses menggambar, terdapat kebiasaan yang disebut remukan, di mana malam batik akan diremukkan untuk menciptakan motif garis yang tidak tegas, seolah-olah mengalir begitu saja. 

Batik Tulis Batang

Photo :
  • ist

Muthola'ah (37), anak bungsu Umriyah, mengungkapkan bahwa membatik adalah bagian dari hidup Ma’e. Sejak suaminya meninggal pada 1998, Umriyah mengandalkan keahlian membatik untuk menghidupi anak-anaknya dan menyekolahkan mereka, bahkan mengirimkan mereka ke pondok pesantren. Sayangnya, meskipun Umriyah tetap konsisten membatik, minat terhadap batik Batang semakin menurun di kalangan putri-putrinya. Salah satu faktor yang menghambat adalah harga Batik Batang yang sangat tidak sesuai dengan nilai keekonomian.

“Susah memang mencari penerus Batik Tulis Batang,” kata Utin, yang menyatakan kekhawatirannya terhadap kelangsungan tradisi ini.

Meski begitu, berbagai upaya untuk melestarikan Batik Tulis Batang terus dilakukan. Salah satunya melalui pengenalan batik sebagai bagian dari pelajaran tata busana di SMKN 1 Warungasem. Kepala Sekolah SMKN 1 Warungasem, Suyanta, S.Pd, M.Si., menjelaskan bahwa sejak 2021, sekolahnya telah menerima bantuan dari pemerintah untuk mendukung program Desain dan Produksi Busana. Bantuan tersebut meliputi gedung dan peralatan, serta pelatihan, termasuk kehadiran guru tamu dan guru magang. 

Menurut Erwan, Kepala Program Desain Produksi Busana di SMKN 1 Warungasem, anak-anak memang diarahkan untuk menguasai batik tulis. Mereka bahkan akan belajar langsung dari pengrajin Batik Tulis Batang, agar warisan budaya ini tidak punah.

“Semester depan, kami akan mengusulkan kurikulum baru di mana pelajar akan belajar langsung pada ibu asuh, yaitu pengrajin Batik Tulis Batang,” kata Erwan.

Konsorsium Pengusaha Peduli Sekolah Vokasi Indonesia juga turut ambil bagian dalam upaya pelestarian ini. Mereka memberikan bantuan melalui proyek Teaching Factory (TEFA), yang memungkinkan generasi muda Batang untuk menghasilkan karya batik yang dapat dipamerkan di showroom. Di ruang sebelahnya, sebuah runway disiapkan sebagai tempat untuk menampilkan karya batik terbaik dari siswa-siswa SMKN 1 Warungasem.

Sebagai bentuk dukungan tambahan, William Kwan, Direktur Institut Pluralisme Indonesia (IPI), yang juga seorang pemerhati dan pejuang Batik Tulis Batang, turut memberikan pelatihan kepada para pelajar. Pelatihan tersebut meliputi pengenalan motif batik, warna motif, serta pembelajaran mengenai batik Bhinneka Tunggal Ika yang memadukan Batik Tulis Batang dengan Batik Tulis Jambi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya