Bisnis Kecantikan Makin Canggih, Pakai Game dan Vending Machine

ilustrasi make up smokey eye
Sumber :
  • pixabay/Twnynina

VIVA – Data Kementerian Perindustrian, industri kosmetik tumbuh sekitar 9 persen tahun 2019. Hal ini dipicu permintaan akan produk buatan dalam negeri terus meningkat di pasar domestik dan luar negeri. Menurut Euromonitor, pasar kecantikan dan perawatan diri di Indonesia diperkirakan bernilai US$6,03 miliar pada 2019 dan tumbuh menjadi US$8,46 miliar pada 2022.

Dr Kilala Tilaar Ungkap Tren Kecantikan yang Akan Menguasai Tahun 2025

Pertumbuhan ini dipercaya berkat adanya eCommerce kecantikan dan media sosial yang berpengaruh dalam keputusan pengguna membeli kosmetik, ditambah pemanfaatan teknologi yang cukup pesat. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan dari sisi trafik pelanggan ke ecommerce yang berbanding lurus dengan revenue, salah satunya pada eCommerce Sociolla.

Perusahaan beauty-tech itu telah mengadopsi berbagai bentuk teknologi yang mampu mendatangkan pelanggan. Dikatakan Co-Founder dan CEO Social Bella, Christopher Madiam, platform kecantikan yang dikelolanya, Sociolla, berawal dari e-Commerce yang kemudian berkembang ke toko offline yang di dalamnya memanfaatkan perangkat berteknologi tinggi.

Alasan Citra Kirana Terjun ke Bisnis Kecantikan

Tren Beauty Tech

Untuk menikmati teknologi di Sociolla, pengguna bisa mendownload aplikasi Sociolla terlebih dahulu, kemudian mengisi profil termasuk nama, warna kulit, jenis kulit, dan lainnya. Aplikasi dan toko offline bisa dihubungkan, misalnya membeli melalui aplikasi dan mengambilnya di toko offline terdekat. Bahkan, sebelum masuk ke toko offline, pengunjung bisa mendaftar dan scan barcode melalui layar yang ada di pintu masuk.

Mulia, Alasan Ruben Onsu Buat Produk Kecantikan

“Semua barcode yang tersemat di produk-produk itu bisa langsung discan melalui aplikasi di smartphone. Kemudian pengunjung bisa langsung membayar produk tersebut di kasir. Bisa membayar dengan digital payment di smartphone. Ada juga So.Co, platform untuk memberikan informasi kepada pengunjung mengenai produk yang diinginkan, ada juga review produk,” kata Christopher.

Di dalam retail store ini juga terdapat sebuah box layar yang menampilkan permainan seru. Pengguna diminta untuk menyelesaikan permainan yang berujung pada hadiah voucher diskon. Voucher ini bisa langsung digunakan untuk mendapatkan diskon produk di toko tersebut hari itu juga.

Menurutnya, sejak berdiri pada 2015 lalu, perusahannya sudah berkolaborasi dengan Amazon Web Service (AWS) untuk fokus pada customer experience. Christopher berkisah, sejak berdiri 2015, 6 bulan kemudian pakai AWS untuk scale up. AWS disebutnya memiliki market share paling besar dan menjadi salah satu pioneer atau yang paling awal.

“Untuk e-commerce, AWS paling lengkap dan komprehensif dalam menyediakan fitur-fitur yang kami butuhkan. Platform cloud-nya yang paling pertama menyediakan fitur autoscale. Dalam arti, meski mencari revenue, tapi satu sisi AWS membantu customernya untuk saving cost. Nah saving cost ini salah satu caranya dengan fitur autoscale, misalnya saat kita tidak pakai server dengan kapasitas yang tinggi, dia otomatis bisa menyusut cost-nya. Sebaliknya, pada saat kita butuh, dia bisa otomatis scale up,” kata dia.

Usai bekerja sama dengan AWS, Christopher mengaku, pada periode 2017 – 2018, revenue social bella tumbuh 7 kali lipat. Saat ini pelanggan online perusahaan ini mencapai 5-6 juta uniqe user per bulan.

“Kami pakai semua layanan AWS dari yang basic seperti Amazon EC2, Amazon S3, , dan yang advance seperti Amazon Redshift untuk data warehouse. Kami juga berkolaborasi dengan AWS untuk omnichannel ini karena AWS kan sebenarnya menyediakan cloud ini bukan hanya untuk online service saja, bahkan lebih luas,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya