Filler Tak Dilakukan Dokter Spesialis, Bahayanya Bisa Sampai Buta
- Pixabay/jochenpippir
VIVA – Memiliki penampilan yang sempurna, mulai disadari banyak orang, bisameningkatkan rasa percaya diri. Karena kesadaran inilah, semakin banyak orang mulai memperhatikan penampilannya. Tidak heran jika belakangan, semakin banyak wanita bahkan pria mulai mendatangi beberapa klinik kecantikan. Tetapi sayang, seringkali, banyak justru mendatangi salong ataupun klinik kecantikan yang bukan ditangani langsung ahli dermatologis atau dokter spesialis kulit.
Terkadang bahkan, beberapa tindakan seperti filler dilakukan oleh orang yang bukan dokter. Terkait dengan mulai banyaknya tindakan kecantikan (estetika) dilakukan oleh orang yang bukan ahlinya, ketua League of Asean Dermatolog Societies (LEADS), Dr. Syarief Hidayat SpKK, FINSDV, FAADV menjelaskan fenomena tersebut terjadi lantaran di Indonesia belum adanya panduan baku siapa yang boleh melakukan tindakan tersebut. Padahal kata dia, beberapa negara di Asean lainnya seperti Singapura, Malaysia memiliki aturan tersebut.
"Sekarang prosedur estetik regulasi belum ada, jika mengacu pada Singapura sudah ada regulasi. Sedangkan di Indonesia enggak ada, karena itu bisa siapa saja yang melakukan hal tersebut (filler)," kata Dr Syarief kepada awak media dalam acara Regional Conference of Dermatology (RDC) di Surabaya Jawa Timur, Kamis 9 Agustus 2018.
Dia pun memaparkan beberapa dampak yang bisa terjadi jika seseorang melakukan injeksi filler untuk memancungkan hidung misalnya, tanpa dilakukan oleh ahli. Ternyata berdampak sangat buruk mulai dari kerusakan hidung hingga kebutaan. Hal itu lantaran jika salah penempatan filler atau pemberian filler yang terlalu banyak.
"Itu bisa menekan pembuluh darah sehingga mengalami nekrosis, kerusakan hidung. Atau kalau salah bisa masuk ke dalam ke pembuluh darah dan itu bisa jalan ke mana-mana bahkan ke mata dan itu bisa menyebabkan kebutaan dan itu enggak disampaikan," kata dia.
Penanganan estetika bukan oleh dokter ahli kecantikan
Di sisi lain, terkait dengan masih adanya penanganan treatment kecantikan yang tidak dilakukan oleh dokter spesialis kulit, dia menjelaskan bahwa ranah estetika bukanlah milik dari spesialis kulit.
"Harus ada regulasi bukan melarang tetapi harus ada regulasi, intinya adalah safety pasien. Singapura dan Malaysia sudah diatur bahwa yang melakukan tindakan itu harus ada sertifikat kompetensi dan kita belum punya dan ini harus," lanjut Dr Syarief lagi.
Di sisi lain, Ketua Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI), DR.Dr. M. Yulianto Listiawan, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV menjelaskan bahwa dia telah mengimbau anggotanya agar menjalankan profesinya sesuai dengan regulasi. Pihaknya pun telah memberikan beberapa pelatihan dengan menggunakan cadaven (mayat) yang diawetkan dengan didinginkan kemudian ditaruh di dalam suhu ruangan agar kulitnya tetap hidup sebagai media pembelajaran.
"Jadi diberitau disuntik dimana saja misalnya untuk botox. Intinya untuk menyelamatkan. Karena pembuluh darah di muka berbeda. Jadi kalau suntik di sebelah sini konsekuensi ini dan ini yang harus dilakukan," jelas dia.
Tidak hanya itu, dalam bidang pendidikan pihaknya juga mendorong adanya jenjang mulai dari pendidikan hingga mendapatkan sertifikasi profesi.
"Ada jenjangnya TOD, kemudian praktik dan dilakukan supervisi, kemudian baru dilepas tetapi dia diawasi, mereka memberikan laporan setiap bulannya baru setelah itu keluar sertifikat kompetensi," kata dia.
Terkait dengan kemungkinan kedua organisasi ini untuk membuat peraturan atau sanksi, Dr Yulianto menjelaskan bahwa baik Perdoski maupun LEADS bukanlah organisasi yang punya tugas polisioner.
"Kita tekankan akan aman kalau kerja sesuai dengan kompetensi," jelas dia.