Polemik Galon Sekali Pakai, Pemerintah Tak Konsisten Kurangi Sampah
- Istimewa
VIVA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan pengurangan sampah hingga 30 persen pada 2025. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelibatan dunia usaha untuk turut bertanggungjawab dalam pengelolaan sampah sesuai dengan perannya.
Hal itu diatur dalam PP No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Bahkan peraturan pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang salah satu penerapannya adalah EPR atau Extended Producer Responsibility ini.
Poin tersebut juga diperkuat lagi dengan terbitnya Peraturan Menteri LHK Nomor P.75 tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Sayangnya, hingga saat ini penerapan EPR ini dianggap masih berjalan secara sukarela. Hal ini terlihat dari sampah kemasan makanan atau minuman, produk kebutuhan rumah tangga, dan yang lainnya, terhenti di tempat yang tidak seharusnya, seperti sungai, laut, lahan kosong dan penampungan akhir.
Baca juga: Santai di Pantai, Luna Maya Pamer Punggung Mulus
Komitmen KLHK untuk menerapkan peraturan EPR kepada perusahaan dianggap masih kurang tegas dijalankan. Dengan alasan bahwa peta jalan (road map) tentang Extended Producer Responsibility (EPR) ini masih diterapkan 10 tahun lagi, pemerintah seakan melakukan pembiaran terhadap industri yang masih belum mengindahkan soal EPR ini.
Padahal seharusnya, yang dilakukan KLHK adalah harus mengingatkan mereka. Salah satunya bisa dilhat saat ada sebuah industri AMDK yang justru mengeluarkan produk sekali pakai di saat pemerintah tengah berkomitmen ingin menegakkan PP tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Pemerintah terlihat tidak konsisten menyikapinya. Dalam satu kesempatan pemerintah mengatakan tidak membenarkan perbuatan tersebut. Hal itu seperti disampaikan Direktur Jendral Pengelolaan Limbah, Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya (Limbah B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati, saat ditanyakan pendapatnya mengenai hal itu.
“Ya, saya sudah mendengar tentang produk air mineral galon sekali pakai ini. Saat ini Pemerintah sedang gencar dalam membatasi dan mengurangi sampah plastik yang berasal dari kemasan sekali pakai. Mungkin komunikasi dengan para produsen harus gencar juga dilakukan, sehingga bisa sejalan,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Baca juga: Reaksi Ibunda Setelah Marsha Aruan Dibaptis
Bahkan, dia menegaskan lagi bahwa saat ini pemerintah melalui KLHK sudah mengeluarkan kebijakan phase out beberapa jenis produk dan kemasan produk sekali pakai sebagaimana diatur dalam Permen LHK No. P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
"Jadi jika ada produsen makanan dan minuman, yang mendorong pemakaian kemasan sekali pakai, rasanya harus bersama-sama dengan Pemerintah untuk berbicara bagaimana produsen bisa melaksanakan peraturan Menteri LHK dan tidak menambah beban persoalan sampah plastik di Indonesia," lanjut dia.
Lebih tegas lagi dia mengatakan, jika produsen memproduksi dan memasarkan galon sekali pakai, maka KLHK harus memastikan mereka memenuhi kewajibannya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan pengelolaan sampah, untuk menarik kembali kemasan galon tersebut setelah dipakai konsumen untuk mereka daur ulang.
"Mekanisme penarikan kembali untuk didaur ulang sangat terbuka untuk mereka atur sendiri. Kami siap membangun komunikasi terkait mekanisme itu. Jika itu tidak dilakukan mereka, berarti produsen melanggar peraturaan perundangan pengelolaan sampah, dan sekaligus sangat berpotensi menambah jumlah sampah plastik yang membebani lingkungan," kata dia.
Namun, saat hal serupa ditanyakan kembali kepada Vivien usai mendampingi Menteri LHK Siti Nurbaya menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI, ia memberikan jawaban berbeda. "Waktunya kan masih lama, sesuai dengan road map Peta Jalan masih 10 tahun lagi," tuturnya.
Bahkan, dia menyampaikan bahwa tidak masalah jika produsen mengeluarkan produk galon sekali pakai. Lagi-lagi, dia beralasan karena implementasi peraturan terkait EPR itu masih 10 tahun lagi.
"Jadi tidak masalah jika mereka mengeluarkan produk itu, kan belum dilarang," kata Vivien.