Sumber :
- ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana
VIVA.co.id
- Sabtu 30 Mei 2015, jantung seluruh elemen sepakbola Indonesia dibuat berdegup kencang. Bukan karena timnas Indonesia sedang bertanding di level internasional. Melainkan, di hari tersebut, nasib sepakbola Indonesia di level internasional tengah dipertaruhkan.
Apa yang dikhawatirkan akhirnya menjadi kenyataan. Tepat pada pukul 18.00 WIB, kabar buruk tersebut datang. Ketua Umum PSSI, La Nyalla Mattalitti, mengonfirmasikan bahwa Indonesia saat itu telah dijatuhi sanksi oleh FIFA.
Sanksi tersebut memaksa Indonesia harus absen dari berbagai aktivitas sepakbola. Dengan begitu, Persipura Jayapura dan Persib Bandung harus dicoret dari perhelatan AFC Cup. Timnas Indonesia senior juga gagal berlaga di Pra Piala Dunia 2018 dan masih banyak event lain yang gagal diikuti.
Namun, ada satu yang berhasil diselamatkan. Yaitu, kiprah Indonesia di SEA Games 2015.
Lewat surat sanksinya, FIFA menilai PSSI bisa mengirimkan timnasnya ke ajang SEA Games. Ini tak terlepas dari keputusan Komite Eksekutif FIFA.
"Sanksi yang dijatuhkan kepada PSSI berarti berujung pada larangan dari sepakbola Indonesia untuk ikut dalam berbagai agenda internasional seperti program pengembangan FIFA atau AFC, kursus, atau pelatihan. Indonesia juga dilarang berkomunikasi dengan federasi lain dan ikut dalam seluruh turnamen atau kompetisi internasional," begitu pernyataan FIFA dalam suratnya.
"Namun, dengan mengesampingkan basis statuta dan sanksi, Exco FIFA akhirnya mengizinkan Indonesia tetap berpartisipasi di SEA Games 2015 hingga akhir."
Dalam surat tersebut, FIFA tak menjelaskan hingga kapan sanksi akan berlaku. Mereka juga menuangkan apa saja yang harus dilakukan Indonesia agar bisa terlepas dari sanksi di dalam suratnya.
Pertama, FIFA mengharuskan Exco PSSI bisa mengatur kegiatannya secara independen. Artinya, intervensi Kemenpora di dalam sepakbola Indonesia harus dicabut.
Kemudian, terkait kompetisi dan timnas, FIFA meminta kepada pemerintah untuk tak ambil bagian. Dalam statuta FIFA memang sudah ditegaskan bahwa urusan kompetisi dan timnas menjadi otoritas penuh dari federasi.
Terakhir adalah Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) diminta tak turut campur dalam urusan lisensi klub. Masih dalam statuta FIFA, lisensi klub menjadi wewenang dari federasi, konfederasi, dan FIFA.
Selanjutnya
Berawal dari Kisruh ISL 2015
Sanksi FIFA kepada Indonesia sebenarnya berawal dari kisruh digelarnya Liga Super Indonesia (ISL) 2015. Sejak awal, BOPI meminta kepada PT Liga Indonesia untuk melakukan proses verifikasi klub secara bersamaan.Â
Permintaan tersebut dipenuhi PT Liga. Proses verifikasi berjalan secara paralel.Â
Namun, hasil yang diraih oleh keduanya mengalami perbedaan.Verifikasi yang dilakukan PT Liga menunjukkan ada 18 klub yang pantas main di ISL 2015. Lalu, BOPI menyebut cuma 16 klub yang boleh berlaga di ISL 2015.
Dua klub, Arema Cronus dan Persebaya Surabaya, dianggap tak memenuhi kelayakan dalam mengarungi kompetisi teratas di Indonesia tersebut. Masalah dualisme klub, disebut BOPI, menjadi alasan utama mengapa keduanya tak lolos verifikasi.
Meski begitu, PT Liga dan PSSI tetap menggulirkan ISL dengan menyertakan keduanya. Hal ini pun membuat kubu BOPI dan Kemenpora geram.
Surat teguran akhirnya dilayangkan Kemenpora kepada PSSI. Pihak PSSI diharapkan bisa menyelesaikan kasus Arema dan Persebaya paling lambat pada 10 April 2015.
Respon PSSI saat itu adalah mengistirahatkan ISL sejak 12 hingga 25 April 2015. Alasannya, PSSI ingin menemukan jalan keluar terkait masalah ini dalam Kongres Luar Biasa di 19 April 2015.
Menariknya, pihak BOPI malah meminta ISL terus dijalankan. BOPI merasa tak mendapat surat pemberitahuan dari PT Liga soal penghentian sementara ISL.
Rekomendasi izin juga menjadi dalih mereka. Pihak PT Liga diharapkan bisa menggelar ISL karena rekomendasi izin sudah dikeluarkan.
Permintaan BOPI tak diindahkan. Teguran dari Kemenpora kembali keluar pada 16 April 2015. Puncaknya, Kemenpora secara resmi membekukan PSSI dua hari kemudian.Â
Pembekuan terjadi tepat saat PSSI ingin menggelar pemilihan Ketua Umum periode 2015-2019 yang akhirnya dimenangkan oleh La Nyalla Mattalitti.
Usai pembekuan, dinamika konflik antara PSSI dan Kemenpora terus berkembang. Mulai dari adu argumen di DPR hingga petinggi negara seperti Presiden dan Wakil Presiden.
Sayangnya, tak ada solusi yang bisa dicapai kedua belah pihak. Hingga akhirnya, pada 30 Mei 2015, sanksi FIFA keluar.
FIFA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia dengan dasar intervensi negara terhadap pengelolaan sepakbola yang seharusnya dipegang PSSI. Dan tak ada batas waktu yang jelas dari sanksi ini.
Selanjutnya
Timnas Menangis
Dampak sanksi FIFA paling terasa bagi Indonesia dalam level timnas. Tak ikut dalam hampir keseluruhan event membuat peringkat Indonesia di FIFA semakin terpuruk.
Saat ini, Indonesia terjerembab di posisi 179. Posisi tersebut menjadi yang terburuk sepanjang sejarah sepakbola nasional.
Memang, usai sanksi, berbagai turnamen gagal diikuti Indonesia. Pra Piala Dunia 2018, Pra Piala Asia 2019, Piala AFF U-19, Piala AFF Futsal, dan lainnya, tak bisa diikuti oleh Indonesia.
Satu-satunya turnamen internasional yang diikuti Indonesia adalah SEA Games 2015. Pencapaiannya pun tak terlalu memuaskan.
Timnas U-23 gagal meraih medali. Pada perebutan juara ketiga di National Stadium, 15 Juni 2015 silam, Garuda Muda dibantai Vietnam dengan skor 0-5.
"Saya tahu mereka (suporter) kecewa karena kami tak mencapai target yang diharapkan. Tapi, saya minta ke suporter jangan bosan dukung timnas. Kami butuh sekali suporter saat sedang bermain," kata kapten timnas U-23, Manahati Lestusen, saat ditemui VIVA.co.id.
Kegagalan timnas U-23 di ajang SEA Games, tak terlepas dari sanksi FIFA yang membelit Indonesia. Pelatih timnas U-23 di SEA Games 2015, Aji Santoso, menyatakan anak-anak asuhnya tak fokus bermain.
Mereka, disebut Aji, mulai khawatir dengan masa depannya usai sanksi dari FIFA. "Bukan dalih, tapi memang kenyataan atas apa yang terjadi di sepakbola nasional," ujar Aji.
Pernyataan Aji diamini oleh Manahati. Memang, para pemain merasa tak fokus saat berlaga melawan Vietnam. Pikiran mereka, dijelaskan Manahati, sudah terbelah saat SEA Games 2015 dimulai.
"Sejak awal sudah tak fokus. Sebenarnya, ini tak mau kami jadikan alasan. Kami hanya ingin menampilkan yang terbaik," terang Manahati.
Sayangnya, perjuangan timnas U-23 di ajang SEA Games 2015 justru dinodai oleh beberapa pihak. Mereka menuding, timnas U-23 terlibat dalam praktek pengaturan skor.
Adanya rekaman antara seorang pria yang berinisial BS dengan mafia asal Singapura terkait hasil timnas U-23 di SEA Games 2015 menjadi landasannya. Namun, rekaman tersebut tak menjadi bukti kuat timnas U-23 melakukan praktek kotor tersebut.
Sejumlah pejabat, termasuk Kapolri Badrodin Haiti, angkat bicara.Â
Badrodin menilai belum ada bukti timnas U-23 terlibat pengaturan skor. Dan hingga sekarang, isu tersebut menguap begitu saja.
"Tuduhan yang sangat keji, saya berani jamin itu tak terjadi. Ini tuduhan dan serius. Saya, manajer, dan jajaran pelatih, dituduh menjual negara. Jika takÂ
bisa dibuktikan, saya akan meminta manajer menuntutnya secara hukum," tegas Aji.
Selanjutnya
Eksodus Pemain ke Luar Negeri
Kompetisi ISL 2015 hanya berhasil digelar hingga pekan 4. Dan, Gresik United dinyatakan sebagai juara ISL 2015.
Selanjutnya, tak ada lagi kompetisi profesional yang digelar oleh PSSI. Bukan karena sanksi FIFA, melainkan surat pembekuan PSSI oleh Kemenpora.
Ya, sanksi FIFA sama sekali tak punya pengaruh atas kelangsungan kompetisi di Indonesia. Sanksi FIFA hanya melarang Indonesia untuk terlibat dalam kegiatan sepakbola internasional saja.
Matinya kompetisi, membuat para pemain, pelatih, dan elemen sepakbola nasional lainnya, bingung. Mereka kesulitan mencari mata pencaharian. Alhasil, mayoritas di antara mereka memilih bermain dalam turnamen tarkam.
Oase pun ditemukan oleh para pemain, pelatih, dan elemen sepakbola lain, dengan hadirnya sejumlah turnamen. Sebut saja Piala Presiden, Piala Kemerdekaan, Piala Jenderal Sudirman, dan lainnya.
Namun, sekali lagi, ini hanya turnamen. Tak ada muara yang jelas dari turnamen ketimbang kompetisi.
Situasi ini membuat beberapa pemain berpikiran untuk meninggalkan Indonesia dan memilih berkarir di luar negeri. Ryuji Utomo, Adam Alis, Dedi Gusmawan, Greg Nwokolo, Victor Igbonefo, dan Stefano Lilipaly, memilih hengkang ke luar negeri.
Kemudian, ada dua pelatih yang juga memilih untuk berkarir di luar negeri. Mereka adalah Rahmad Darmawan yang memutuskan untuk menerima pinangan T-Team FC dan Rudy Eka Priyambada yang menjadi asisten pelatih di Al Najma (Bahrain).
"Ini adalah kali pertama saya bermain di luar negeri. Tak ada yang mudah. Semua butuh kerja keras buat tebus tim utama," kata Adam Alis kepada VIVA.co.id.
Sayangnya, pengalaman para pemain yang merumput di luar negeri tak bisa ditularkan ke level timnas karena sanksi FIFA masih berlaku ke Indonesia.
Selanjutnya
Kapan Selesainya?
Publik tentunya berharap sanksi FIFA terhadap sepakbola nasional bisa lepas. Mereka pasti ingin situasi sepakbola nasional kembali kondusif, bisa mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang sebelum timnas bertanding, dan menikmati kompetisi yang seharusnya digelar.
FIFA sebenarnya sudah memberi jalan keluar kepada Indonesia agar bisa melepas sanksi dengan membentuk Tim Ad Hoc Reformasi Sepakbola Nasional. Tim ini sudah resmi bekerja pada 11 Desember 2015 lalu.
Saat itu, Tim Ad Hoc menggelar rapat perdana di kantor PSSI. Ketika itu, 5 anggota Tim Ad Hoc hadir dalam rapat.Â
Mereka adalah Agum Gumelar (Ketua), Monica Desideria (sepakbola wanita), Tommy Welly (PSSI), Mahfudin Nigara (KONI), dan Joko Driyono (regulator kompetisi).
Tak ada perwakilan pemerintah dalam rapat perdana. Situasi ini sempat memunculkan pertanyaan di benak AFC yang diwakili oleh Mariano Araneta.
"Tim ini dibentuk untuk merealisasikan keinginan pemerintah Indonesia, guna membenahi tata kelola sepakbola. Tentu, kami sangat mendukung keinginan ini, dan sebab itulah kami membentuk tim ini, di mana semua unsur stakeholders bisa bekerjasama di sini," kata Mariano.
Namun, keinginan Mariano agar pemerintah masuk ke dalam Tim Ad Hoc ternyata tak terkabul. Melalui Deputi V Bidang Harmonisasi dan Kemitraan Kemenpora, Gatot S Dewa Broto, pemerintah menyatakan keengganannya masuk ke Tim Ad Hoc.
Gatot menuturkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada Tim Kecil yang diisi Rita Subowo (mantan Ketua KOI), Dede Sulaiman (mantan pemain timnas Indonesia), Makarim Wibisono (mantan Duta Besar Indonesia), dan Djoko Susilo (anggota Tim 9).
Selain itu, menurut Gatot, Terms of Reference (ToR) Tim Ad Hoc sangatÂ
menguntungkan PSSI. "Belum nyambung materinya dengan pemerintah karena banyak menyangkut kepentingan PSSI. Jadi, kami mengambil sikap tak gabung," terang Gatot.
Sikap ini kemudian dikritisi oleh Agum. Mantan Ketua Umum PSSI tersebut meminta agar pemerintah bisa berpikir lebih terbuka.
"Tim ini dibentuk bukan atas dasar kepentingan siapa pun, tak berpihak ke PSSI atau kubu mana pun. Kami ada di sini hanya bertujuan untuk mereformasi sepakbola nasional," ujar Agum.
Selain perwakilan pemerintah, delegasi dari APPI juga belum menampakkan batang hidungnya dalam 2 rapat terakhir. "Saya masih berharap pihak APPI dan pemerintah mengirimkan wakilnya ke Tim Ad Hoc," kata Agum.
Waktu yang dimiliki Indonesia tak banyak. Setidaknya, masalah sepakbola nasional harus diselesaikan pada awal atau tengah Februari 2016.
Jika tidak, sanksi Indonesia bisa dibahas dalam Kongres FIFA pada 26 Februari 2016 nanti. Agenda pembahasan sanksi pun sudah masuk ke dalam Kongres.
Pastinya akan menjadi mimpi buruk andai sanksi FIFA masuk dalam bahasan Kongres. Jangka waktu sanksi bisa lebih lama dari yang diperkirakan. Pasalnya, keputusan Kongres hanya bisa dicabut lewat proses serupa.
Jadi, akan seperti apa wajah sepakbola Indonesia di 2016 nanti? Tentunya kalian ingin melihat sepakbola Indonesia kembali pulih, bukan? Cepat sembuh Indonesiaku!
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Berawal dari Kisruh ISL 2015