Dialog MHM, Quraish Shihab Luruskan Kesalahpahaman dalam Memahami Toleransi
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Majelis Hukama Muslimin (MHM) kantor cabang Indonesia menggelar dialog dengan insan media tentang pentingnya menjaga toleransi dan kelestarian alam. Dialog digelar dalam rangka menyambut Hari Toleransi Internasional sekaligus menyongsong penyelenggaraan Conference of the Parties ke-29 (COP29) yang berlangsung di Baku, Azerbaijan.
MHM merupakan sebuah lembaga lintas negara yang bersifat independen, didirikan pada 2014 di Abu Dhabi. MHM memiliki tujuan mempromosikan perdamaian dan kehidupan damai pada masyarakat muslim dan masyarakat non muslim, menyebarkan dan menguatkan nilai-nilai dialog, toleransi, dan koeksistensi (hidup berdampingan secara rukun dan damai). Sejak 2021, telah dibuka MHM kantor cabang Indonesia, yang diawali sebagai kantor virtual dan selanjutnya diresmikan berkantor di Jakarta pada Oktober 2023.
Hadir sebagai narasumber, Menag Prof Dr Nasaruddin Umar yang memberikan sambutan melalui rekaman video, pendiri dan anggota MHM Prof Dr M Quraish Shihab, Anggota Komite Eksekutif MHM Dr TGB M Zainul Majdi, serta Direktur MHM kantor cabang Indonesia Muchlis M Hanafi.
Terkait toleransi, Prof Quraish menjelaskan bahwa ada sejumlah orang yang salah paham dalam memahami toleransi karena menerjemahkannya dengan mengalah. Padahal, toleransi bukan berarti mengalah. Toleransi seperti orang yang berjabatan tangan.
“Anda mengulurkan tangan lalu memegang tangan orang lain. Saling menyentuh tangan. Sehingga manfaat toleransi dirasakan dua pihak. Jadi bukan mengalah. Kita berjalan seiring,” terang Prof Quraish di Jakarta, Senin 11 November 2024.
“Kita ingin menekankan bahwa perbedaan itu keniscayaan. Kalau tidak berbeda kita tidak bisa hidup. Tuhan mau kita berbeda. Maka jangan jadikan perbedaan alasan untuk tidak bekerja sama,” sambungnya.
MHM kata Prof Quraish, didirikan bukan untuk memadamkan ‘kebakaran’ tapi mencegah ‘kebakaran’. Salah satu kegiatan MHM adalah menyebarkan toleransi. Sebab, tanpa toleransi, bisa terjadi ‘kebakaran’. “Kegiatan MHM lainnya adalah meluruskan kesalahpahaman, serta membangun kerja sama positif antar umat manusia,” paparnya.
Terkait pelestarian alam, Prof Quraish menegaskan bahwa itu menjadi tanggung jawab setiap individu. Tugas ulama dan tokoh agama dalam konteks pelestarian lingkungan adalah ikut serta menyadarkan masyarakat bahwa alam adalah titipan Tuhan untuk dilestarikan. “Setiap gangguan terhadap alam bertentangan dengan perintah Tuhan,” tegasnya.
MHM, kata Prof Quraish, juga mendorong penulis dan khatib untuk memperkaya pengetahuan masyarakat tentang pandangan agama menyangkut pelestarian lingkungan. Hal itu tentu tidak hanya dalam bentuk ceramah, mengaitkan kewajiban melestarikan lingkungan dengan hak yang bersifat ajaran agama semata.
“Tapi ada tindakan dan kegiatan yang harus dilakukan walaupun bukan atas nama agama tapi ilmu pengetahuan yang dapat menghambat pemanasan global. Misalnya, jangan memakai plastik atau semua kegiatan yang mengarah kepada pelestarian lingkungan,” paparnya.
“Banyak hal yang dapat dilakukan. Itu bukan hanya tugas ulama, tapi setiap individu di antara kita,” tandasnya.
Budaya Damai
Hal senada disampaikan TGB M Zainul Majdi. Terkait toleransi, TGB M Zainul Majdi menggarisbawahi pentingnya membangun budaya damai. Hal itu tidak bisa dilakukan dengan memelihara eksklusivitas, tapi harus membuka ruang dialog. Aksi itu antara lain tercermind ari penandatanganan dokumen persaudaraan manusia oleh Grand Syekh Al Azhar Ahmed Al Tayeb dan Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019.
“Itu dokumen paling kuat antara tokoh tertinggi dunia muslim dan tertinggi di dunia katolik yang menunjukkan komitmen bertoleransi, bekerja sama, bukan untuk kepentingan umatnya masing-masing saja, tapi untuk umat manusia,” sebutnya
“Toleransi tidak terbatas saling menghormati, tapi juga bekerja sama dalam isu konkrit terkait umat manusia. MHM concern dengan isu perubahan iklim,” sambungnya.
Kenapa MHM bicara masalah pemanasan suhu global. Menurut TGB, hal itu menjadi bagian dari upaya MHM untuk mencegah terjadinya ‘kebakaran’. Sebab, lawan dari damai adalah konflik. Salah satu sumber konflik masyarakat global ke depan adalah ekses dari pemanasan global.
“Pemanasan global berdampak pada naiknya air laut, mengancam masyarakat pesisir yang juga adalah kelompok marginal. Pemanasan suhu global juga mengancam rantai pasokan pangan dan bisa menyebabkan penyakit yang tidak diketahui sebelumnya. Permasalahan global pada akhirnya akan menciptakan renteten dari konflik,” ujarnya.
“MHM ikut berupaya membahas masalah pemanasan global karena ini tidak hanya menjadi tantangan ahli saintis, tapi juga ahli agama untuk menerjemahkan pesan-pesan agama,” sambungnya.
Sejumlah upaya telah diinisiasi MHM, antara lain menghadirkan Paviliun Iman pada COP28 di Abu Dhabi dan COP29 di Azerbaijan. Paviliun Iman ini menjadi platform bagi para tokoh agama untuk bertemu dengan para penentu kebijakan dunia dan berdialog hingga timbul kesepahaman bersama tentang masalah aksi iklim.
“Kita bersykur dalam kasus perubahan iklim, agama, sains, opini publik mengarah pada arah yang sama bahwa ini harus segera ditangani dengan sungguh-sungguh,” tegasnya.
Sekjen MHM Konselor Mohamed Abdelsalam, kata TGB, dalam pertemuan para tokoh agama dunia di Baku, menyampaikan pandangan sangat lugas kepada pemimpin dunia, bahwa aksi iklim bukan pilihan, tapi keharusan absolut untuk mesa depan dunia. Pesan seperti ini sering disampaikan jajaran pimpinan MHM kepada pemimpin dunia dalam setiap pertemuan.
“MHM terus menjalin komunikasi dengan para penentu kebijakan terkait toleransi dan aksi iklim. Sekjen PBB sangat apresiatif. Bahkan, hari penandatanganan dokumen persaudaraan ditetapkan sebagai Hari Persaudaraan Manusia Internasional,” sebutnya.
“MHM juga terus menghimpun para tokoh agama, tokoh lintas agama, termasuk tokoh agama lokal. Dalam tataran ini MHM bekerja, termasuk di Indonesia,” tandasnya.
Program MHM Indonesia
Direktur MHM kantor cabang Indonesia Muchlis M Hanafi menggarisbawahi sejumlah aksi lokal yang dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat yang mengedepankan semangat persaudaraan. MHM berupaya menjelaskan tentang praktik baik toleransi di Indonesia. Menurut Muchlis, Zayed Award for Human Fraternity yang diberikan kepada NU dan Muhammadiyah pada Februari 2024 menjadi bentuk pengakuan atas praktik baik Indonesia.
“Para tokoh agama dunia melihat praktik baik toleransi di Indonesia, tentang peran lembaga keagamaan dalam membangun masyarakat yang damai dan itu direpresentasikan oleh NU dan Muhanmadiyah,” kata Muchlis.
Upaya lain yang dilakukan MHM dalam ikut memotret praktik baik toleransi di Indonesia adalah membuat lomba foto toleransi, lomba film pendek tentang kerukunan, dan lomba esay. MHM juga menerjemahkan buku, bukan hanya dari Arab ke Indonesia, tapi buku Indonesia yang diterjemahkan ke Bahasa Arab.
“MHM juga mengadakan berbagai kegiatan di Indonesia. Kampanye toleransi dan koeksistensi melalui media serta khutbah Jumat,” sambungnya.
Sebagai bagian dari upaya global membangun kesadaran tentang pelestarian lingkungan, kata Muchlis, MHM pada 2023 menggelar Konferensi Asia Tenggara tentang perubahan iklim. Pada Februari 2024, MHM kantor cabang Indonesia juga mem buat kegiatan dengan melibatkan penyandang disabilitas.
“Persaudaraan mencakup semua lapisan masyarakat. Karena itu perlu membangun dialog untuk kehidupan yang lebih harmonis,” tandasnya.