dr Tirta: Nilai IPK Tinggi Tidak Penting, Kesuksesan Ditentukan Empat Faktor

Pendapat dr. Tirta tentang nilai IPK tinggi tak berpengaruh terhadap kesuksesan orang
Sumber :
  • Instagram/@dr.tirta

VIVA – Pendapat dr. Tirta terkait nilai IPK tinggi tidak penting menjadi bahan perbincangan di X. Menurutnya, keberhasilan seseorang didukung beberapa faktor lainnya. 

Timnas Indonesia Tumbang, Nobar di Depan Eks Kantor Gibran Tetap Meriah, Ribuan Orang Teriak demi Merah Putih!

Nilai Indeks Prestasi Kumulatif atau IPK menjadi momok menakutkan bagi setiap mahasiswa. Lantaran masih banyak yang beranggapan nilai IPK sangat memengaruhi kesuksesan seseorang. Pada akhirnya memengaruhi mahasiswa kerap menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh IPK tinggi. Harapannya supaya bisa mencari pekerjaan lebih mudah setelah lulus. 

dr.  Tirta menyangkal stereotip tersebut. Menurutnya, IPK tidak relate dengan dibahas sebagai penentu keberhasilan seseorang. IPK juga  tidak ada korelasi dengan pekerjaan. 

Wapres Kunjungi Bayi Bernama Gibran di Kamp Pengungsian Erupsi Gunung Lewotobi

Ia berpandangan bahwa IPK hanya sebatas bentuk tanggung jawab kepada diri sendiri selama kuliah. Bahkan tidak berpengaruh terhadap pekerjaan. 

dr Tirta

Photo :
  • Instagram/dr.tirta
Hari Keempat Lapor Mas Wapres Catat 296 Aduan, Paling Banyak soal Ini

Laki-laki kelahiran 1991 itu mengungkapkan keberhasilan seseorang bukan ditentukan oleh nilai IPK tinggi atau tidak. Tetapi dipengaruhi oleh empat faktor, yakni networking, relasi kerja, privilege, dan keberuntungan. 

"IPK tuh nomor-nomor bawah. Mau kamu IPK 3,9 tapi jarang nongkrong (bersosialisasi) dan di rumah terus, nggak punya informasi loker (lowongan kerja), ya masa salah IPK-nya? Kan enggak," jelas dr. Tirta. Ketika podcast bersama Praz Teguh.

dr. Tirta menyebut Gibran Rakabumingraka yang kini menjadi wakil presiden sebagai contoh IPK rendah tapi bisa sukses. Dimana IPK putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak terlalu tinggi namun kariernya sukses di dunia politik dan wirausahawan. 

"Bukan ngerujak, itu bukti. Siapa pun bisa bermimpi dan jadi motivasi. Artinya walaupun IPK kamu 2,5 atau 2,7 itu tidak menghalangi mimpimu di masa depan," tegasnya.

Alumni Kedokteran Universitas Gadjah Mada bahkan mengaku dirinya mempunyai privilege yang membantunya menjadi seorang dokter dan melanjutkan S2 di ITB. Hal itu karena orang tuanya adalah mantan dosen. 

Fenomena privilege dalam menunjang karier seseorang tak hanya terjadi pada dirinya atau Gibran Rakabumingraka saja. Faktanya hal serupa juga dialami oleh orang-orang di sekitar. Namun, kita malas mengakuinya. 

“Apa yang dialami Mas Gibran sebenarnya relate juga dengan apa yang kita alami di sekitar kita,” ucap dr. Tirta.

Oleh sebab itu, dokter asal Surakarta ini berpandangan jika ia tidak mempunyai privilege maka ia harus yang menyediakan ‘kelebihan’ tersebut untuk anak-anaknya.

“Generasi itu hanya ada dua pilihan, yaitu pewaris dan perintis,” pungkasan. 

Menurutnya, masih banyak lulusan dengan predikat cumlaude yang tidak bekerja karena tidak mempunyai keempat faktor tersebut. Dokter yang terkenal suka marah-marah ini juga mengungkapkan bahwa selama mencara kerja ia tidak pernah ditanya terkait IPK oleh HRD.

“Yang ditanya oleh HRD itu kamu kuliah di mana, berapa tahun, dan pengalamanmu apa,” tambah dr. Tirta. 

Lebih lanjut, laki-laki bermata sipit menjelaskan pembahasan IPK baru akan relevan jika dikaitkan dengan tiga bidang profesi saja. 

Pertama, tenaga kesehatan. IPK tinggi bagi tenaga kesehatan menjadi parameter seberapa baik menyerap ilmu. Nilai yang tinggi membuktikan seseorang menguasai ilmu kesehatan dengan baik sehingga dapat mendiagnosa sebuah penyakit dengan tepat. Sementara jika IPK rendah maka rentan terjadi kesalahan diagnosa sehingga justru membahayakan pasien. 

Kedua, profesi dosen, guru atau pengajar. Hal itu karena jenis karier tersebut berperan menyebarluaskan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. IPK tinggi menandakan bahwa lulusan tersebut mempunyai pemahaman baik sehingga dinilai mampu menyampaikan konsep pembelajaran secara komprehensif. 

Ketiga adalah peneliti. Profesi peneliti harus mempunyai nilai tinggi karena ia mempunyai kewajiban untuk melakukan observasi yang berhubungan dengan inovasi. Peneliti juga harus memublikasi jurnal ilmiah sebagai acuan pembelajaran hingga membuktikan kebenaran suatu hal secara ilmiah. 

"Sisanya seperti akuntan, arsitektur dan yang lain mana ada ditanya IPK-mu piro? Nggak ada. Yang penting experience (pengalaman)," tutur dr. Tirta. 



 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya