Ternyata Ini Rahasia Jendral Soedirman yang Dapat Lolos dari Sergapan Belanda
- Indonesia Press Photo Service
Jakarta – Jendral Soedirman (Sudirman dalam ejaan saat ini) dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang prestasinya diakui. Dia adalah salah satu dari sedikit tokoh di Indonesia yang mencapai pangkat bintang lima atau jenderal besar.
Prestasinya saat masih berpangkat Kolonel dalam memimpin pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang berhasil mengusir Pasukan Tank Sekutu di Ambarawa, menjadi landasan bagi kariernya hingga menjadi Panglima TKR yang kemudian menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sudirman dikenal memiliki karamah dan kharisma yang luar biasa ketika memimpin pasukan TKR melawan penjajah. Kemampuannya dalam strategi militer diakui luas, dengan perhitungan yang matang, tepat, dan akurat menjadi salah satu keunggulannya.
Diketahui sang jenderal pernah berguru ke tokoh spritual Kiai Haji Busyro Syuhada seorang ulama besar yang berasal dari Banjarnegara. Selain itu rupanya sang jenderal besar ini juga mempunyai amalan atau jimat yang selalu diandalkannya.
Namun jimat yang dimaksud, bukan jimat benda seperti keris atupun tongkat. Namun yang pertama adalah dirinya selalu menjaga wudhu. Kedua, selalu shalat pada awal waktu dan ketiga ikhlas berjuang.
Anak bungsu Jenderal Sudirman, Mohamad Teguh Sudirman, mendengar banyak cerita tentang kelebihan ayahnya itu. Teguh lahir pada 1949, ketika ibunya bersembunyi di Keraton Yogyakarta, dan pada saat ayahnya bergerilya.
Dia tak sempat bertemu dengan ayahnya, yang meninggal dua bulan sesudah dia lahir. Teguh hanya mendengar kisah Jenderal Sudirman dari sang ibu, Siti Alfiah. Satu di antara penggalan ceritanya, ketika Sudirman sampai di Gunungkidul, Yogyakarta.
Sudirman tak mengizinkan pasukannya beristirahat lama-lama. Benar saja, beberapa saat kemudian, pasukan Belanda tiba di lokasi peristirahatan pasukannya.
Jika Sudirman yang dalam sakit dan tubuh rapuh, tak segera meminta mereka untuk jalan lagi, pertempuran tak akan bisa dihindari. "Dan bisa jadi pasukan Bapak kalah," kata Teguh.
Selain itu ada kisah Jenderal Sudirman yang bisa lolos dari kepungan tentara Belanda yang hendak menangkapnya saat singgah di salah satu rumah rakyat jelata di Kediri, Jawa Timur. Rupanya ada anak buah sang jenderal yang berkhianat.
Sang pengkhianat itu pun membawa sejumlah tentara Belanda untuk menangkap Sudirman. Kemudian seorang prajurit melapor kepada Jenderal Sudirman bahwa tentara Belanda telah mengepung tempat persembunyian mereka. Lalu sang jenderal yang bersahaja ini mengajak para prajuritnya untuk menggelar zikir kepada Allah SWT.
Pertolongan Allah SWT pun turun di mana ketika ditunjukkan terhadap sosok Sudirman, ketika komandan tentara Belanda itu ternyata tidak percaya dan malah memerintahkan untuk mengeksekusi dengan menembak anak buah Jenderal Sudirman yang berkhianat itu. Karena sang anak buah yang telah menjadi mata mata Belanda itu dinilai telah berbohong.
Sudirman, yang selalu menyamar sepanjang gerilya, juga kerap diminta mengobati orang sakit. Di sebuah desa di Pacitan, Jawa Timur Teguh bercerita, Sudirman dan pasukannya kelaparan karena tak menemukan makanan berhari-hari.
Saat rombongan ini beristirahat, seorang penduduk menghampiri mereka dan meminta air mantra untuk kesembuhan istri lurah di situ.
Sang Panglima Besar mengambil air dari sumur, kemudian meniupkan doa. Ajaib, istri lurah yang terbaring payah itu bisa bangun setelah minum.
Pak Lurah pun mempersilakan Sudirman dan anak buahnya beristirahat. Ia menjamunya dengan berbagai menu masakan. "Baru setelah itu Bapak mengenalkan diri," kata Teguh.
Selain itu, konon ada cerita jika Jenderal Sudirman memiliki Keris Penolak Mortir. Kisahnya dimulai saat suara pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap pada suatu hari di awal Januari 1949.
Lalu penduduk desa di Nganjuk, Jawa Timur, yang tengah berada di sawah, halaman, dan jalanan itu panik masuk ke rumah atau bersembunyi ke balik pepohonan. Warga Nganjuk tahu itu pesawat Belanda yang sedang mencari para gerilyawan dan bisa saja memuntahkan bom atau peluru.
Tak terkecuali Jirah, perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur, seraya membayangkan gubuknya dihujani peluru. Menurut dia, di rumahnya ada sembilan laki-laki asing sebagai tamu Pak Kedah (ayah angkatnya), yang dia layani makan dan minum.
Meskipun tak paham siapa orang-orang ini, Jirah menduga mereka yang sedang dicari tentara Belanda. Sewaktu pesawat mendekat, dia melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan pintu dikelilingi delapan lainnya.
"Saya mengintip dan menguping apa yang akan terjadi dari dapur," kata Jirah. Lelaki pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil "Kiaine" atau Pak Kiai itu mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu dia taruh di depannya.