AICIS 2024 untuk Perdamaian dan Keadilan Dunia

Thobib Al Asyhar, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis Kemenag.
Sumber :
  • Istimewa

Kehadiran agama yang di dalamnya bersisi nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan tidak sepatutnya menjadi “terdakwa” dalam peristiwa demi peristiwa krisis apapun. Agama lahir justru sebagai “drive” bagi pemeluknya agar mereka dapat menemukan apa yang selama ini banyak orang disebut kebahagiaan lahir dan batin.
oleh: Thobib Al Asyhar, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis Kemenag, dosen SKSG Universitas Indonesia

Muslim Tapi Tak Selalu Ikuti Aturan Al-Quran, Cinta Laura: Kita Tinggal di Dunia Modern

VIVA – Di tengah gegap gempita kampanye Pilpres dan Pemilu Legislatif 2024, Kementerian Agama menggelar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-23 di UIN Walisongo Semarang pada tanggal 1-4 Februari 2024. Ajang bergengsi tahunan tentang kajian keislaman tingkat dunia ini mengangkat tema: Redefining the Roles of Religion in Addressing Human Crisis: Encountering Peace, Justice, and Human Right Issues. 

Grand theme tersebut sengaja dipilih sebagai respons cerdas atas kondisi dunia yang tidak baik-baik saja. Peristiwa menyayat hati di Gaza, Ukraina, dan belahan dunia lainnya di mana kematian, kelaparan, kehancuran infrastruktur, dan ancaman atas peradaban manusia akibat perang telah mengusik Kementerian Agama untuk mendefinisikan ulang peran agama dalam menjawab krisis kemanusiaan global.

Perekonomian Global Masih Stagnan, OJK Waspadai Dampaknya ke Perbankan RI

Di Gaza, Palestina bagaimana para pihak (Israel dan Hamas) yang mengaku beragama justru saling bunuh dan menghancurkan, meskipun faktor pemicu juga karena konflik politik kawasan. Jika dikulik lebih panjang, konflik Israel-Palestina memiliki sejarah yang sangat rumit dari tiga agama (Yahudi, Nasrani, dan Islam). Satu isu teologis perang Israel-Palestina selain masalah pendudukan adalah klaim keagamaan Israel atas tanah Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan (The Land Promised).

Demikian pula yang terjadi pada perang Rusia-Ukraina. Mengutip tulisan Giles Fraser di situs resmi London School of Economics (LSE) bahwa Gereja Ortodoks Ukraina telah menyatakan kemerdekaannya dari Gereja Ortodoks Rusia, sekaligus tidak lagi bersekutu dengan anggota keluarga Ortodoks lainnya. Menyikapi hal ini Gereja Ortodoks Rusia merasa tersinggung, marah, dan akhirnya menolak klaim kemerdekaan Ukraina. 

Denny Sumargo Turut Berperan dalam Perdamaian Pratiwi Noviyanthi dengan Agus Salim di Gedung Joeang 45

Oleh sebagian orang, dari sinilah gereja Ortodoks di Rusia-Ukraina terjadi perpecahan bersejarah yang menjelma lebih dari persoalan keagamaan semata, seperti yang terjadi belakangan ini. Ukraina dituduh telah "menghina" nilai-nilai tradisi keagamaan Rusia sekaligus melupakan Rusia dalam catatan masa lalu Ukraina. 

Demikian juga di belahan dunia lain, di mana agama dijadikan "alat" sekaligus "korban" untuk kepentingan politik, ekonomi, budaya, klaim sejarah, dan seterusnya. Sehingga, peristiwa kemanusiaan yang melibatkan atau mengatasnamakan agama sampai hari ini bisa disebut sebagai kelanjutan dari kisah konflik antar manusia dalam sejarah yang melibatkan agama. Lalu, akankah agama dapat menjadi solusi bagi krisis kemanusiaan yang setiap tahapan sejarah selalu muncul?

Untuk menjawab persoalan tersebut, penyelenggaraan AICIS tahun ini ingin memberikan kontribusi tentang bagaimana agama seharusnya diperankan dalam krisis kemanusiaan global, baik akibat perang, perubahan iklim, isu-isu ketidakadilan gender, dan lain-lain. Kementerian Agama Republik Indonesia yang diberi tugas negara dalam pembangunan bidang agama merasa terpanggil memikul beban tanggung jawab terhadap kemaslahatan dan keberlangsungan kehidupan beragama demi terwujudnya kedamaian, kesejahteraan, dan kesetaraan umat beragama di Indonesia dan menyebarkan ke tingkat global. 

Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan tanggung jawab ini diperlukan pemikiran yang sistematis dan komprehensif dari para cendekiawan dan praktisi melalui AICIS sebagai salah satu wahana untuk mendiskusikan peran dan tanggung jawab tersebut. Langkah ini untuk mengejewantahkan nilai-nilai dan kajian keagamaan (Keislaman) yang menuntut akademisi, praktisi dan lainnya untuk berani speak-up ke dunia luar yang telanjur dikuasai oleh narasi buruk bahwa agama menjadi problem bagi kehidupan. 

Kehadiran agama yang di dalamnya bersisi nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan tidak sepatutnya menjadi “terdakwa” dalam peristiwa demi peristiwa krisis apapun. Agama lahir justru sebagai “drive” bagi pemeluknya agar mereka dapat menemukan apa yang selama ini banyak orang disebut kebahagiaan lahir dan batin. Hanya masalahnya, ketika agama telah dianut, dipahami, dan diimplemetasikan ajaran-ajarannya seringkali justru menimbulkan paradoksi sosial dari esensi agama itu sendiri.  

Tindakan apapun yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang diatasnamakan agama tampak sekali bahwa itu disebabkan dari hal yang kompleks. Salah satunya adalah ketidakmampuan sebagian pemeluk agama dalam memahami nilai-nilai universal agamanya. Substansi agama telah direduksi oleh pemahaman yang sempit, apalagi bercampur dengan kepentingan sesaat, baik politik, ekonomi, budaya, dan lainnya.

Oleh karena itu, melalui AICIS tahun ini yang diselenggarakan bertepatan dengan krisis kemanusioaan global di berbagai belahan dunia menemukan urgensinya. Dalam forum ini akan dibahas barbagai perspektif bagaimana seharusnya agama berperan lebih nyata untuk terjaganya perdamaian, keadilan, kesejahteraan, dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, agama dapat menjadi penjernih, memberikan arah, makna dan tujuan hidup pada manusia, serta tampil secara lebih ramah, sejuk, terbuka, humanis, damai dan adil bagi kehidupan di muka bumi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya