Kisah Pemilik Kebun Kurma yang Menolak Surga, Siapakah Itu?
- Lutfi Dwi Puji Astuti/MCH 2023
VIVA Edukasi – Ada sebuah kisah menarik yang penuh hikmah di balik turunnya Surat Al-Lail ayat 5-11. Seperti apa kisahnya?
Jalaluddin As-Suyuthi dalam buku Al-Itqan fi Ulumil Quran menyebutkan para ulama berbeda pendapat perihal lokasi turunnya Surat Al-Lail. Sebagian ulama menyatakan surat ini tergolong Makkiyah, yang mana turun sebelum Nabi SAW berhijrah.
Sebagian ulama lainnya mengemukakan Surat Al-Lail termasuk Madaniyah lantaran terdapat suatu kisah mengenai pohon kurma yang menjadi Asbabun Nuzul beberapa ayatnya. Berikut riwayatnya yang dilansir dari buku Meraih Rezeki Tak Terduga oleh Ahmad Yasin Ibrahim.
Kisah Pemilik Pohon Kurma yang Kikir
Suatu ketika ada seorang lelaki miskin yang berjalan melewati kebun kurma di kota Madinah. Laki-laki itu diketahui sedang merasa kelaparan, sementara ia tak memiliki harta bahkan makanan sedikit pun untuk disantap.
Ia kemudian mendapati sebuah pohon kurma yang subur dan rimbun buahnya. Saking lebatnya, kurma-kurma tersebut sampai menjuntai hampir menyentuh tanah. Melihat itu, ia tak kuasa menahan rasa lapar yang dirasa. Diambil lah sebuah kurma untuk dimakannya.
Apa yang dilakukannya ternyata diketahui oleh si tuan pemilik kebun. Tuan tersebut kemudian menghardik lelaki miskin dengan kata-kata yang menyakitnya. Lalu ia berkata, "Aku akan bawa dan adukan perbuatanmu kepada Rasulullah. Sungguh, tanganmu akan dipotong karena telah mencuri!"
Si pria fakir itu berujar sambil mengikuti tuan kebun yang membawanya kepada Rasul SAW, "Apakah benar tanganku harus dipotong hanya karena sebuah kurma yang kuambil?
Sesampainya di hadapan Nabi SAW, pemilik kebun mengatakan kepada beliau, "Ya Rasulullah, potonglah tangan orang ini! Ia telah mencuri di kebunku."
Rasul SAW berkata kepada lelaki miskin itu, "Apa yang sudah kau curi, wahai saudaraku?"
"Maafkan aku, ya Rasulullah! Aku mencuri sebutir kurma dari kebun tuan ini lantaran rasa lapar yang kurasa. Aku khilaf." ujar pria itu.
Mendengar perkataannya, lalu Nabi SAW berkata kepada pemilik kebun, "Mengapa tidak kau infakkan saja sebutir kurma itu kepadanya? Sehingga kau akan mendapat kebaikan dan pahala berlimpah."
Pemilik kebun menjawab, "Tidak ya Rasulullah, aku tidak mau menginfakkannya meski sedikit. Orang ini perlu diberi sanksi. Bila dibiarkan, kelak ia akan terbiasa."
"Maukah kau kuberitakan ganjaran yang lebih hebat? Kau infakkan pohon kurma yang lebat itu, dan sebagai ganjarannya Allah SWT akan memberimu surga nanti." tutur Nabi SAW.
Tuan kebun itu menimbang-nimbang balasan surga untuknya seperti yang dikatakan oleh Rasul SAW. Lalu ia mengatakan, "Apakah benar sebatang pohon kurma sebanding dengan surga? Aku tak percaya ya Rasulullah, aku tak menginginkannya."
Nabi SAW tersentak mendengar pemilik kebun tersebut, ia tak membayangkan kekikiran yang dimiliki oleh seorang umatnya.
Kemudian datanglah seorang pria yang mendengar percakapan di antara Rasul SAW dengan pemilik kebun dan lelaki miskin. Pria itu berujar, "Wahai pemilik kebun! Apabila engkau enggan menerima tawaran surga dari Rasulullah, mengapa tidak kau jual saja pohon kurma yang lebat buahnya itu kepadaku?"
Tuan kebun menjawab, "Aku tidak akan menjual dengan harga yang murah, wahai saudaraku."
"Berapa yang kau minta untuk pohon itu?" balas pria itu.
"Aku akan tukar pohon kurmaku dengan 40 batang kurma. Apakah kau akan membelinya?" ucap pemilik kebun.
Mendengar harga yang tidak masuk akal, pria itu berpikir bahwa surga yang kelak akan didapatnya tak sebanding dengan mahalnya perkara dunia. Ia lalu menjawab, "Baik, akan aku beli pohon kurmamu yang lebat dengan 40 pohon kurma yang kumiliki."
Pohon kurma yang lebat buahnya pun terjual, dan pemilik kebun mendapatkan keuntungan berlipat darinya. Karena sifat kikirnya itu, ia menyia-nyiakan surga yang dikatakan oleh Rasul SAW.
Peristiwa ini dijelaskan menjadi sebab turunnya Surat Al-Lail ayat 5-11 yang berbunyi:
Latin: Fa ammā man a'ṭā wattaqā. Wa ṣaddaqa bil-ḥusnā. Fa sanuyassiruhū lil-yusrā. Wa ammā man bakhila wastagnā. Wa każżaba bil-ḥusnā. Fa sanuyassiruhū lil-'usrā. Wa mā yugnī 'anhu māluhū iżā taraddā.
Artinya: Siapa yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa serta membenarkan adanya (balasan) yang terbaik (surga), Kami akan melapangkan baginya jalan kemudahan (kebahagiaan). Adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah) serta mendustakan (balasan) yang terbaik, Kami akan memudahkannya menuju jalan kesengsaraan. Hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa.