Guru Besar FK UPH: Manajemen Intervensi Nyeri Jadi Opsi Pengobatan Kanker
- VIVA | Sherly (Tangerang)
VIVA – Kanker menjadi salah satu faktor kematian terbesar di dunia. Di mana, berdasarkan data WHO, kanker menyebabkan 10 juta kematian pada tahun 2020 dan diperkirakan akan meningkat hingga 70 persen pada tahun 2030.
Melihat kondisi itu, berbagai metode pun dilakukan untuk proses penyembuhan bagi para pasien kanker, lantaran penyakit tersebut tidak hanya menyebabkan kematian, namun dalam perjalanannya turut mengalami penurunan kualitas hidup akibat nyeri kanker bagi para penderitanya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Prof. Yusak Mangara Tua Siahaan, Sp.N(K) mengatakan, Indonesia mencapai sekitar 400 ribu orang, dengan 120 ribu di antaranya mengalami nyeri. Kegagalan pengobatan nyeri dengan menggunakan farmakologi analgesia mencapai 20 hingga 30 persen, sehingga penderita nyeri kanker yang memerlukan manajemen intervensi nyeri mencapai 24 sampai 36 ribu kasus.
"Meskipun nyeri kanker tidak langsung menyebabkan kematian, namun menjadi salah satu gejala kanker yang umum dan mengakibatkan disabilitas serta penurunan kualitas hidup. Maka dari itu, penderita nyeri kanker yang memerlukan manajemen intervensi sebagai opsinya," katanya.
Lanjut dia, WHO mengatur tiga tahapan pemberian opioid sebagai obat nyeri kanker, yaitu non-opioid atau nyeri ringan, opioid ringan atau nyeri sedang, dan opioid untuk nyeri sedang-berat.
Yang mana, meskipun opioid efektif meredakan nyeri kanker, mereka juga berinteraksi dengan sistem tubuh yang dapat menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, konstipasi, sedasi, pusing, halusinasi, dan depresi pernapasan.
Alhasil, ia mengajukan tiga perubahan terhadap tahapan penggunaan opioid dari WHO. Pertama, menghapus tahapan kedua, yaitu opioid ringan atau nyeri sedang. Kedua, memprioritaskan kenaikan intensitas nyeri sebagai pertimbangan untuk segera mengubah langkah pengobatan. Ketiga, merekomendasikan prosedur manajemen intervensi nyeri.
"Prosedur manajemen intervensi nyeri tersebut dapat menjadi tahapan keempat WHO untuk mengatasi nyeri bagi penderita kanker. Dan semakin lengkapnya alat panduan dalam melakukan prosedur, menunjukkan bahwa manajemen intervensi nyeri tidak boleh diabaikan atau tidak diutamakan sebagai opsi pengobatan nyeri kanker karena telah terbukti mampu menggantikan peran opioid dan meningkatkan kualitas hidup penderitanya," ujarnya.
Hal ini pun, juga menjadi tantangan bagi para mahasiswa dan alumni muda untuk mempertimbangkan bidang ini sebagai area pelayanan kesehatan di masa depan.
"Dengan semakin optimalnya pelayanan manajemen intervensi nyeri, maka diharapkan dapat mengurangi penggunaan opioid jangka panjang, sehingga penderita kanker dapat terhindar dari efek samping, tetap memiliki kualitas hidup yang baik, dan fokus pada pengobatan kankernya," ungkapnya.
Baca artikel Edukasi menarik lainnya di tautan ini.