Kelas Multikultural, Secercah Asa Merajut Toleransi Pendidikan Sejajar di Indonesia

Ai Nurhidayat
Sumber :
  • Istimewa

VIVA Eduaksi –  Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam kemajuan suatu bangsa. Ketika berbicara tentang tingkat pendidikan di Indonesia, data dari United Nations Development Programme yang dilaporkan di bawah naungan PBB pada tahun 2015 menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di peringkat 110 dari 188 negara.

Kisah Bidan Muda di Desa Uzuzozo

Masalah ini sebagian besar disebabkan oleh penggunaan teknologi yang belum maksimal, jumlah jam belajar yang kurang memadai, serta ketidakmerataan dalam pembangunan sistem pendidikan nasional.

Ai Nurhidayat Pendiri Sekolah Multikultural di Pangandaran

Photo :
  • dok. Istimewa

Terkait dengan permasalahan pendidikan ini, tanggung jawabnya tidak hanya ada pada pemerintah, tetapi juga melibatkan peran aktif masyarakat.

Seorang pemuda berinisiatif dari Pangandaran, Ai Nurhidayat, merasa prihatin dengan situasi di daerahnya, di mana masyarakatnya masih terkendala oleh pandangan etnosentris yang sempit karena kurangnya pengetahuan mereka tentang budaya luar. Oleh karena itu, Ai Nurhidayat, yang merupakan lulusan S1 Komunikasi dari Universitas Paramadina, mendirikan SMK Bakti Karya pada tahun 2011.

Proses pendirian SMK Bakti Karya tidak terjadi begitu saja. Awalnya, Ai Nurhidayat membentuk sebuah komunitas belajar di daerahnya setelah kembali dari Jakarta.

Ai Nurhidayat Pendiri Sekolah Multikultural di Pangandaran

Photo :
  • Tangkapan Layar: Instagram

Dia sering mengadakan diskusi santai dengan para pemuda setempat di rumahnya, yang seringkali berlangsung hingga dini hari. Inisiatif ini akhirnya menghasilkan sebuah komunitas yang disebut Komunitas Belajar Sabalad, dengan moto "mencari ilmu selama-lamanya, mencari kawan sebanyak-banyaknya."

Selain dari berdiskusi, Komunitas Belajar Sabalad juga terlibat dalam berbagai kegiatan produktif seperti pertanian, peternakan, dan produksi pupuk kandang, pakan domba, serta madu murni.

Pada suatu waktu, Ai Nurhidayat bertemu dengan seorang guru yang mengajar di SMK Bakti Karya yang hampir bangkrut karena jumlah siswanya yang sedikit.

Ai Nurhidayat setuju untuk menyelamatkan sekolah ini dan mengintegrasikannya dengan Komunitas Sabalad. Pada tahun 2014, SMK Bakti Karya akhirnya bisa beroperasi lagi dengan dukungan yayasan yang dipimpin oleh Ai Nurhidayat.

SMK Bakti Karya merupakan wujud dari usaha publik untuk menginspirasi masyarakat agar lebih menghargai keragaman budaya di Indonesia.

Ai Nurhidayat merasa bahwa toleransi seringkali hanya menjadi slogan kosong tanpa tindakan nyata. Oleh karena itu, dia mendirikan Kelas Multikultural di SMK Bakti Karya, yang membawa siswa dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya, dan tingkat ekonomi untuk belajar bersama dan membangun koneksi antar mereka.

Ai Nurhidayat

Photo :
  • Istimewa

Hingga tahun 2019, Kelas Multikultural ini telah meluluskan 35 siswa dari 6 provinsi dan melibatkan 250 relawan dan mentor.

Mendirikan sekolah gratis bukanlah tugas yang mudah. Yayasan harus mengatasi berbagai kendala, termasuk biaya hidup dan pendidikan bagi siswa-siswa mereka.

Namun, Ai Nurhidayat tetap gigih dalam upayanya untuk meningkatkan pendidikan di daerahnya. Dia juga berhasil membawa teknologi ke wilayah tersebut dengan bantuan start-up IT Scola Academic, sehingga siswa-siswa di SMK Bakti Karya dapat mengakses informasi dan sumber daya yang lebih luas.

Di SMK Bakti Karya, metode belajar berbeda. Siswa-siswi terlibat dalam pembelajaran multimedia, ekologi, dan 60 materi pokok tentang multikulturalisme yang berfokus pada lima konsep dasar, yaitu penanaman nilai toleransi, semangat perdamaian, semangat berjaringan, budaya, dan pembelajaran aktif.

Sekolah ini juga mengutamakan pembelajaran di luar ruangan, seperti pertanian, kegiatan masyarakat, dan dukungan untuk pengembangan karir siswa. Salah satu program mereka, "Splash the Peace," mendorong siswa-siswa menjadi agen perdamaian di sekolah multikultural.

Semangat Ai Nurhidayat dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia diakui dengan penghargaan SATU Indonesia Awards pada tahun 2019 dalam bidang pendidikan.

Dia percaya bahwa siswa-siswa adalah agen perubahan yang dapat mempromosikan toleransi, dan dia berharap bahwa program seperti kelas multikultural dapat diterapkan di seluruh Indonesia untuk memupuk toleransi antar suku, ras, budaya, dan agama.

Tugas untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia hingga mencapai peringkat teratas di dunia tidak boleh berhenti di sini.