Ratusan Dosen Tolak UGM Obral Gelar Profesor Kehormatan ke Pejabat-Politisi
- ANTARA
VIVA Edukasi – Ratusan dosen dari 14 fakultas dan sekolah vokasi di Universitas Gadjah Mada (UGM) menolak usulan terkait pemberian gelar guru besar kehormatan kepada individu-individu di sektor nonakademik, termasuk kepada pejabat publik.
Mereka menolak UGM memberikan gelar profesor kehormatan kepada tokoh nonakademik lewat enam poin dalam surat pernyataan sikap yang ditujukan kepada Rektor UGM tertanggal 22 Desember 2022 tersebut.
Pihak UGM mengaku tengah melakukan kajian akademik terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada perguruan tinggi.
"Kajian ini dimaksudkan untuk mendudukkan pemberian profesor kehormatan dengan prudent (bijaksana) sehingga marwah UGM sebagai lembaga pendidikan tinggi tetap terjaga," kata Ketua Tim Kajian Regulasi Profesor Kehormatan UGM, Andi Sandi Antonius dalam keterangan resmi di Yogyakarta, Kamis.
Andi mengakui peraturan tersebut memang menuai beragam tanggapan dari dosen UGM.Â
Sementara itu, Sekretaris Rektor UGM Wirastuti Widyatmanti menekankan bahwa di UGM setiap pandangan akan dihargai dan dihormati. Prinsip tersebut, menurut dia, yang kemudian menjadi dasar UGM melakukan kajian terhadap Permendikbudristek tersebut.
"Hasil akhir dari kajian tersebut akan disampaikan kepada Kementerian dan menjadi dasar langkah UGM ke depannya," kata Wirastuti.
Diketahui, sebanyak 353 dosen dari 14 fakultas dan sekolah vokasi di UGM menyatakan menolak usulan terkait pemberian gelar guru besar kehormatan kepada individu-individu di sektor non akademik, termasuk kepada pejabat publik.
Merendahkan Marwah UGM
Terdapat enam poin yang disampaikan ratusan dosen itu melalui surat yang ditujukan kepada Rektor UGM tertanggal 22 Desember 2022 tersebut.
Pada poin pertama disebutkan bahwa profesor merupakan jabatan akademik, bukan gelar akademik. Jabatan akademik memberikan tugas kepada pemegangnya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban akademik.
Kewajiban-kewajiban akademik tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pekerjaan dan atau posisi di sektor non akademik.
Poin kedua, pemberian gelar honorary professor  (guru besar kehormatan) kepada individu yang berasal dari sektor non akademik tidak sesuai dengan asas kepatutan: we are selling our dignity.
Poin ketiga, honorary professor seharusnya diberikan kepada mereka yang telah mendapatkan gelar jabatan akademik profesor.
Poin keempat, jabatan profesor kehormatan tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas dan reputasi UGM. Justru sebaliknya, pemberian profesor kehormatan akan merendahkan marwah keilmuan UGM.
Poin kelima, pemberian profesor kehormatan ini akan menjadi preseden buruk dalam sejarah UGM dan berpotensi menimbulkan praktik transaksional dalam pemberian gelar dan jabatan akademik.
Poin terakhir, pemberian profesor kehormatan seharusnya diinisiasi oleh departemen yang menaungi bidang ilmu calon profesor kehormatan tersebut berdasarkan pertimbangan akademik sesuai bidang ilmunya.
Saat dikonfirmasi, Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Prof Koentjoro yang namanya ikut tercantum dalam surat itu membenarkan bahwa dirinya menjadi salah satu dosen yang menolak usulan profesor kehormatan. "Itu benar adanya," ucap mantan Ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia ini.
Untuk mencapai jabatan akademik tertinggi tersebut, ujar Koentjoro, dosen harus menapaki tahap demi tahap yang tidak mudah, mulai dari asisten, asisten ahli, lektor, lektor kepala, hingga puncaknya adalah profesor.
Tidak hanya itu, menurut dia, mereka juga harus memiliki pengalaman pengejaran dan penelitian yang kuat.
"Kami (untuk mencapai gelar profesor) itu capek, susah, kok, tiba-tiba orang dari politisi akan langsung masuk di situ. Soal unsur keadilan itu yang kami tidak ridha (rela)," ujar Koentjoro. (ant)