FHUI Gelar Diskusi: Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia Menurut KUHP Baru
- Biro Humas dan KIP UI
VIVA Edukasi – Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik (Ditjen IKP), dan Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI) menggelar diskusi Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia Menurut KUHP Baru di Novotel Tangerang, Banten, Senin (12/12).
Diskusi ini menyoroti kehadiran KUHP baru setelah menunggu hampir puluhan tahun, Indonesia akhirnya memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) asli buatan bangsa Indonesia.
Lahirnya KUHP baru ini menjadi momentum strategis berkaitan dengan ketentuan mengenai terorisme dan pendanaan terorisme. Pengaturan tindak pidana terorisme merupakan gambaran menarik tentang perjalanan politik hukum pidana Indonesia dalam melakukan tindak pidana serius.
“Tentunya ini menjadi menarik, karena di situ antara lainnya adalah penyebaran ideologi anti pancasila dimasukan delik pidana dan berkaitan dengan studi tidak dimasukkan dalam delik pidana,” ujar Ketua Prodi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI), Muhamad Syauqillah, Ph.D., dalam sambutannya mewakili Direktur SKSG UI, Athor Subroto, Ph.D., dalam keterangannya yang diterima VIVA, Senin (19/12).
Sementara itu, Guru Besar bidang Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI), Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, Ph.D., yang juga menjadi anggota tim perumus KUHP baru, menyampaikan bahwa dalam KUHP baru ini terdapat lima misi, yaitu rekodifikasi terbuka dan terbatas, demokratisasi, aktualisasi, modernisasi, dan harmonisasi.
Pada prinsip kodifikasi terbuka dan terbatas, pasal 187 KUHP Baru dinyatakan bahwa Buku Kesatu KUHP berlaku juga bagi perbuatan yang dipidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di luar KUHP, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang (UU).
“Mengapa perlu sekali hal ini kami rumuskan karena pada saat ini kita juga masih punya berbagai Undang-Undang yang tidak memiliki pola yang sama, baik dalam rumusan kriminalisasi, jenis pidana, jenis tindakan, dan sanksinya itu sangat beragam, sehingga hal ini menimbulkan kesulitan di dalam pembicaraan mengenai hukum pidana di Indonesia,” ujar Prof. Harkristuti.
Ia menambahkan, rekodifikasi terbuka dilakukan karena masih ada kemungkinan ketentuan-ketentuan lain untuk dimasukkan, terutama pada bab khusus di dalam Bab XXXV dan prinsip ini hanya berlaku untuk lima tindak pidana khusus. Lima tindakan khusus tersebut meliputi tindak pidana berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana narkotika.
Ketentuan khusus ini dipilih berdasarkan beberapa kriteria, salah satunya adalah merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat (super mala per se) dan sangat terkutuk oleh masyarakat (strong people comdemnation). Kriteria inilah yang menjadi landasan terorisme masuk dalam KUHP Baru.
Selama ini, kata Prof. Harkristuti, pidana yang diterapkan dalam undang-undang untuk tindak terorisme sudah menerapkan pidana yang berat. Namun, tindak terorisme tetap terjadi. “Saya tidak berani mengatakan bahwa KUHP baru akan mengubah. Itu karena kita tetap memakai ketentuan tentang terorisme yang sudah ada saat ini. Banyak sekali upaya-upaya yang sebenarnya sudah dirumuskan di dalam Undang-Undang 5/2018, tapi memang belum semuanya itu dapat terlaksana dengan baik,” ujar Prof. Harkristuti.
Undang-Undang No.5 Tahun 2018 adalah UU tentang tindak pidana terorisme. Undang-undang ini menjadi aturan hukum khusus yang hingga saat ini dipakai dalam penanganan kasus-kasus terorisme. Salah satu yang cukup berbeda dalam KUHP baru, adalah tindak pidana terorisme dan tindak pidana pendanaan terorisme tidak dipisahkan.
Terkait dengan pendanaan, menurut Direktur Hukum dan Regulasi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Fithriadi Muslim, memang tidak sederhana. Dana bisa datang dari luar negeri untuk aksi teror di Indonesia,atau bisa juga sebaliknya dikumpulkan di Indonesia untuk aksi di luar negeri.
Dalam persoalan ini, fokus lembaga tersebut ada pada dananya. “Pendanaan terorisme ini agak unik. Dia itu bermasalah karena penggunaan ataupun tujuan, dari pada pemanfaatan dana tersebut. Jadi, pendanaan terorisme itu bisa bersumber dari aktivitas yang ilegal bisa juga bersumber dari aktivitas yang sah,” kata Fithriadi.
Selain itu, pada pembukaan acara, turut memberikan sambutan Dekan FHUI, Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M., dan Direktur IKPolhukam Kementerian Kominfo, Drs. Bambang Gunawan, M.Si.
Beberapa pembicara dan penanggap lainnya juga hadir pada acara tersebut di antaranya Kombes. Pol. Dr. Imam Subandi, S.S., S.H., M.H.; Koordinator Kajian dan Analisis Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rahmat Sori Simbolon; Deputi Direktur Bidang Program Indonesia Judicial Research Society, Adery Ardhan Saputro, S.H., LL.M; dan Senior, Partner AdhyAksaraGautama, Garnadi Walanda, S.H., M.Si.