Kolom Prof Ahmad Zainul Hamdi: Kearifan Lokal dan Jebakan Intoleransi
- jatim.nu.or.id
VIVA – Saat ini, istilah “kearifan lokal” atau “local wisdom” menjadi istilah yang hampir selalu muncul di setiap isu, terutama jika berkaitan dengan kebijakan publik. Hampir tidak ada isu kebijakan publik, atau setidaknya sebuah tindakan yang mengenai kelompok orang, yang tidak melibatkan istilah ini.
Istilah “kearifan lokal” atau “local wisdom” ini lahir beriringan dengan istilah lain yang memiliki makna kurang lebih sama, yaitu “local knowledge” dan “local genius”. Istilah ini merujuk pada pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang yang diperoleh dan relevan dengan koteks tempat tertentu. Dalam pengertian ini, local knowledge atau local genius bisa berupa keterampilan yang dipraktikkan begitu saja karena sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari suatu kelompok. Inilah yang membedakan local knowledge dengan teori-teori sains modern yang tersusun secara sistematis di buku-buku ilmu pengetahuan.
Beberapa ahli menyamakan istilah “local wisdom” dengan “local knowledge” dan “local genius”. Ahlee, dkk. dalam “Bang Kad: A Reflection of Local Wisdom to Find Wild Honey and Ecological Use of Resources in Melalauca Forest in The Songkhla Lake Basin”, misalnya, menyatakan bahwa local wisdom tidak lain adalah kumpulan pengetahuan sebagai hasil dari pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh orang-orang di tempat tertentu. Local wisdom dimaknai sebagai pengetahuan yang didapat melalui rangkaian aktivitas oleh sekelompok orang di sebuah tempat tertentu, dan diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Oleh beberapa orang istilah “wisdom” lebih dipilih daripada “knowledge” atau “genius” karena istilah “wisdom” tidak hanya merujuk pada pengetahuan dan keterampilan, tapi juga nilai-nilai hidup.
Mengapa pengetahuan atau kejeniusan lokal ini penting dalam sebuah proses pembangunan? Jawabannya adalah karena banyak persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pada dasarnya adalah problem yang sudah dihadapi masyarakat dari dari generasi ke generasi. Melalui pengalaman yang panjang, mereka telah menemukan cara sedemikian rupa untuk menyelesaikan persoalannya. Misalnya, dengan mendengar cuitan burung atau arah dan kelembaban angin, mereka bisa menentukan kapan terjadinya gempa bumi, sekalipun mereka tidak memiliki teknologi seismograf sebagaimana yang diperkenalkan manusia modern untuk mendeteksi gempa bumi.
Mempertimbangkan local knowledge atau local genius setidaknya memiliki dua keuntungan. Pertama, melestraikan berbagai pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki masyarakat. Kedua, sebuah masalah bisa diselesaikan tanpa harus menunggu tersedianya teknologi modern yang seringkali harganya mahal dan barangnya langka. Dengan mengakui dan mempertimbangkan pengetahuan lokal, masalah-masalah sosial bisa tetap diselesaikan.
Bahkan, ketika pengetahuan dan teknologi modern sudah tersedia pun, pengetahuan lokal tetap perlu dipertimbangkan. Pengetahuan dan teknologi modern ketika hendak diaplikasikan di masyarakat sering berhadapan dengan masalah penolakan budaya. Tidak jarang masyarakat menolak iovasi-inovasi mdern karena merasa cara hidup mereka yang telah lama dijalani terancam. Itulah mengapa pengetahuan dan kejeniusan lokal menjadi sangat penting dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik.
Yang perlu dipahami adalah bahwa konsep local knowledge atau local wisdom sama sekali bukan konsep yang dikembangkan para ahli untuk menolak setiap inovasi dan kemajuan-kemajuan untuk perkembangan masyarakat. Sayangnya, akhir-akhir ini ada kecenderungan memanipulasi isilah ini untuk menolak berbagai ikhtiar perbaikan. Bahkan, ada tendensi untuk melanggengkan masa lalu, apapun bentuknya. Tiba-tiba, segala hal di masa lalu dinilai sebagai kesempurnaan dan setiap perubahan dianggap sebagai kejahatan.
Inilah yang kita dengarkan dari keluhan para akivis sosial yang berusaha menghapus pernikahan anak. Di beberapa tempat, mereka harus berhadapan dengan tokoh-tokoh local yang menentang mereka dengan alasan kearfian lokal. Praktik pernikahan anak, bahkan perjodohan saat anak masih bayi, yang banyak terjadi di masa lalu disebut sebagai kearifan lokal. Dengan dalih kearifan lokal, mereka menolak upaya-upaya penghapusan pernikahan anak.
Di samping itu, tidak pernah ada dalam sejarah masyarakat di mana setiap praktik sosialnya sanggup menjawab masalah-masalah yang dihadapinya sepanjang waktu. Masyarakat, sesederhana apapun, selalu mengalami perubahan. Di sepanjang perubahannya, masalah-masalah baru terus bermunculan. Masalah-masalah ini membutuhkan jawaban-jawaban baru yang kreatif. Praktik menikah dengan cara menculik calon pengantin mungkin saja dianggap “cocok” di sebuah tempat pada kurun waktu tertentu, namun praktik belum tentu “cocok” dengan situasi saat ini. Budaya kekerasan “nyawa dibalas nyawa” yang menjadi tradisi di sebuah daerah juga tidak harus terus-menerus dipertahankan dengan dalih kearfian lokal, karena kini kita memiliki mekanisme penegakan hukum untuk menyelesaikan setiap kasus pelanggaran hak seseorang, mulai kasus pencurian ayam hingga pembunuhan.
Dalam konteks ini pula kita dibuat tercengang dengan apa yang terjadi di Kota Cilegon baru-baru ini. Di Kota ini, gereja tidak diperbolehkan berdiri. Kelompok yang menamakan dirinya Komite Kearifan Lokal Kota Cirebon bersama dengan para tokoh masyarakat menyuarakan penolakannya atas rencana pembangunan sebuah gereja. Alasan yang didengungkan adalah kearifan lokal dengan merujuk pada sebuah kebijakan penguasa Cilegon tahun 1975 yang tidak mengizinkan pendirian gereja di Cilegon.
Apakah kebijakan ini merupakan kearifan lokal? Sebuah kebijakan politik jelas bukan kearifan lokal. Kebijakan yang diambil oleh seorang pejabat adalah kebijakan yang tidak boleh bertentangan dengan regulasi dan konstitusi di atasnya. Bahkan jika ada sebuah kearifan lokal di masa lalu yang tidak lagi memenuhi tuntutan sosial saat ini pun perlu ditinjau kembali.
Sekali lagi, tidak ada satu pun praktik masa lalu yang bisa menjawab seluruh persoalan masyarakat yang semakin kompleks. Di dalam sebuah masyarakat yang sederhana dan homogen, tantangan-tantangan dan solusi-solusi yang diperlukan berbeda dengan masyarakat yang berkembang semakin kompleks dan heterogen.
Saat ini, kita hidup dalam sebuah dunia di mana hak asasi manusia adalah tuntutan yang tidak mungkin di abaikan. Saat ini, kita tinggal Bersama dalam sebuah negara demokrasi dengan warga negara yang sangat heterogen. Tidak boleh ada praktik intoleransi yang terus dirawat dan dibenarkan dengan merujuk pada praktik masa lalu, apalagi berdasar pada sebuah kebijakan politik. Dalam sebuah negara demokrasi, tidak boleh ada sekelompok masyarakat yang tidak dilindungi hak-hak konstitusionalnya. Intoleransi tidak bisa dibenarkan sekalipun ia didukung oleh suara mayoritas. (Ahmad Zainul Hamdi, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Sunan Ampel Surabaya)