Sejarah Reformasi di Indonesia, Penyebab Lengsernya Soeharto
- hukamnas.com
VIVA – Era Reformasi dimulai pasca runtuhnya rezim Soeharto di Indonesia pada tahun 1998, saat itu Soeharto yang menjabat sebagai presiden memutuskan untuk mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh wakilnya B.J Habibie.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai sejarah Reformasi di Indonesia, ada baiknya kita mengetahui apa itu Reformasi, berikut ulasannya:
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Reformasi adalah perubahan secara drastis yang bertujuan untuk perbaikan, Reformasi berlaku di bidang sosial, politik, atau agama dalam suatu masyarakat atau negara.
Berikut VIVA telah merangkumnya dari berbagai sumber sejarah Reformasi di Indonesia
Latar belakang
Dikutip dari Wikipedia, krisis finansial Asia saat itu turut memberi dampak pada perekonomian Indonesia, dampak tersebut membuat perekonomian Indonesia melemah. Dampak dari melemahnya ekonomi ini mendorong rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah yang saat itu dipimpin oleh presiden Soeharto menjadi semakin menurun.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah tragedi Trisakti yang menewaskan 4 orang mahasiswa pada 12 Mei 1998, hal ini menjadi pemantik kerusuhan Mei 1998. Sehari setelah tragedi trisakti gerakan mahasiswa pun semakin meluas di seluruh Indonesia, dibawah tekanan dari dalam dan luar negeri, Soeharto akhirnya memilih mengundurkan diri sebagai presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998.
Isi pidato pengunduran diri Presiden Soeharto
“Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.”
Otonomi daerah
Pada bulan Mei 1999 pemerintah B.J Habibie meresmikan Undang-Undang Otonomi Daerah, dilansir dari sumber.belajar.kemdikbud.go.id, Otonomi daerah adalah salah satu tuntutan dan agenda reformasi. Pemerintah RI sudah mencanangkan otonomi daerah ini sejak tahun 1999 dengan dikeluarkannya UUD No. 22 Tahun 2001 tentang otonomi daerah.
Pemerintah kemudian merevisi UU tersebut dan menggantinya dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan pemerintah daerah.
Dengan UU yang baru ini kemudian ditegaskan bahwa otonomi daerah dimaksud sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan (UU No. 32 Tahun 2004, pasal 1 ayat 5).
Pemilu pertama era Reformasi
Pada era Habibie juga dilangsungkan pemilihan umum legislatif tahun1999, ini merupakan pemilihan bebas pertama sejak pemilu legislatif tahun 1955. Pemilu ini diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen, bukan komisi pemilihan yang diisi menteri-menteri pemerintah seperti yang terjadi pada masa Orde Baru silam.
Referendum 1999 Timor Leste
Seperti yang diberitakan VIVA sebelumnya, usai lengsernya rezim Soeharto , B.J Habibie mengumumkan referendum pada 30 Agustus 1999, Langkah ini diambil untuk menentukan masa depan Timor Timur. Tindakan Habibie ini mengejutkan banyak orang dan membuat marah beberapa orang.
Dia memberikan 2 pilihan kepada masyarakat Timor Timur yakni menerima otonomi khusus untuk Timor Timur dalam NKRI atau menolak. Hasilnya 344 ribu penduduk atau 78 persen dari total penduduk Timor Timur memilih untuk menolak otonomi khusus NKRI.
Konflik etnik
Pada masa reformasi terjadi konflik horizontal di masyarakat yang berlatar belakang masalah etnis, ras dan agama. Berikut konflik pada masa reformasi dikutip VIVA dari sumber.belajar.kemendikbud.go.id:
Di Kalimantan Barat terjadi konflik etnis antara suku Dayak, Melayu, dan warga pendatang dari suku tertentu. Konflik mulai pecah pada tanggal 19 Januari 1999. Konflik ini dapat diselesaikan ketika pada tanggal 26 April 1999. Suku-suku yang bertikai duduk bersama dan membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat.
Di Ambon terjadi konflik etnis berlatar belakang agama, pemicu konflik di Maluku adalah bentrokan antara seorang warga Batumerah (Ambon) dengan seorang sopir angkutan kota. Kejadian itu memicu konflik massal. Berbagai upaya yang dilakukan untuk mewujudkan perdamaian di Maluku seperti menemukan jalan buntu. Akhirnya, tanggal 11-12 Februari 2002, diadakan Perjanjian Malino di Sulawesi Selatan, di mana kedua belah pihak yang berkonflik bersepakat untuk mengakhiri konflik.
Konflik antar agama Islam dan Kristen juga terjadi di Poso. Pemicu konflik adalah sebuah peristiwa sederhana yaitu perkelahian antara Roy Bisalemba (Kristen) yang sedang mabuk dengan Ahmad Ridwan (Islam) yang terjadi pada tanggal 26 Desember 1998 di kecamatan Soya, Kabupaten Poso.
Perkelahian ini berkembang menjadi konflik antar warga yang berbeda agama. Tanggal 28 Desember 1998, konflik ini meluas ke seluruh kabupaten. Pemerintah berupaya mengatasi masalah ini dengan menyelenggarakan Pertemuan Malino, di Sulawesi Selatan, pada tanggal 19-20 Desember 2001. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa pihak yang bertikai harus menghentikan perselisihan dan sepakat melaksanakan butir-butir kesepakatan yang sudah disetujui bersama.