Mahasiswa IPB Ungkap Fakta Perburuan Ikan Hiu di Sulawesi Utara
- Pixabay/Owlstalk
VIVA – Mohamad Saeful Hidayat, mahasiswa IPB University dari Sekolah Pascasarjana program studi Ilmu Kelautan mengungkapkan fakta-fakta perburuan Ikan Hiu di Indonesia. Di bawah bimbingan Dr Hawis Madduppa dan Dr I Wayan Nurjaya, Saeful melaksanakan riset tentang aktivitas penangkapan hiu di Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Sitaro (Siau-Tagulandang-Biaro) Sulawesi Utara.
Dr Hawis, selaku pembimbing utama menyatakan, “Masih belum tersedianya informasi molekuler dan ekologi dari ikan hiu yang terdapat di perairan Sulawesi Utara. Ini menjadi alasan dipilihnya pendekatan molekuler melalui DNA Barkoding dan Metabarkoding DNA Lingkungan dalam riset ini.”
Menurut Saeful, nelayan skala kecil pada kedua kabupaten tersebut menjadikan komoditas hiu sebagai target utama dan tangkapan sampingan. Pulau Batuwingkung yang terletak di Kabupaten Sangihe sudah turun-temurun menangkap hiu.
“Komoditas perikanan hiu di sana memiliki nilai ekonomis tinggi, terutama sirip, jika dibandingkan dengan komoditas ikan lainnya seperti kakap dan kerapu,” jelasnya dalam konferensi pers.
Ia menambahkan, nelayan Batuwingkung menggunakan alat tangkap rawai hanyut untuk menangkap hiu dengan ikan kakap dan kerapu sebagai umpannya. Nelayan di Kabupaten Sitaro menjadikan hiu sebagai tangkapan sampingan dan lebih memilih ikan kakap dan kerapu sebagai target utama tangkapan.
Sementara nelayan di Kecamatan Tagulandang dan Biaro, Desa Buang menggunakan alat tangkap satu mata kail (handline) sehingga hiu yang tertangkap jumlahnya lebih sedikit dibandingkan nelayan di Batuwingkung.
“Kumboreng Menehe merupakan jenis hiu yang paling banyak didaratkan pada kedua kabupaten. Jika merujuk kepada buku identifikasi hiu, Kumboreng Menehe ini diduga merupakan spesies Carcharhinus Sorrah. Tetapi ada spesies hiu lainnya yang mirip dengan jenis tersebut sehingga identifikasi secara molekuler diperlukan untuk memvalidasi hal tersebut,” ungkapnya dilansir VIVA dari laman ipb.ac.id.
Ia melanjutkan, alasan lainnya adalah karena identifikasi secara konvensional terkendala dengan hilangnya ciri diagnostic/spot character yaitu sirip pada beberapa individu Kumboreng Menehe.
“Selain Kumboreng Menehe terdapat jenis hiu lainnya yang didaratkan seperti Prionace glauca, Chiloscyllium punctatum, Alopias pelagicus (Papahi/Layyang), Isurus oxyrinchus (Maskita), Galeocerdo cuvier,” imbuhnya.
Sementara itu, lanjutnya, pada bulan Agustus-Desember merupakan puncak musim penangkapan hiu di Sulawesi Utara. Dalam satu perahu, nelayan bisa menangkap ikan hiu sampai tujuh ekor. Menurut nelayan Batuwingkung, imbuhnya, keberadaan Ikan Hiu di perairan Kepulauan Sangir dipengaruhi oleh arus dan keberadaan ikan tongkol yang menjadi mangsanya.
“Pada saat penelitian dilakukan, nelayan Batuwingkung banyak menangkap hiu di perairan sekitar Para dan Nenung (dekat dengan Kabupaten Sitaro) karena arus sedang bergerak ke bawah. Tetapi ada kalanya nelayan di sana menangkap hiu di perairan Pulau terluar dekat dengan perbatasan Filipina Selatan, seperti Pulau Marore, Matutuang, Kawaluso dan Nusatabukan,” tuturnya.
Menurutnya, lokasi penangkapan hiu yang ideal di sekitar napo/tofor (daerah laut dangkal yang berada di laut lepas) dengan kedalaman berkisar antara 50 hingga 70 meter. Lokasi penangkapan hiu di Kabupaten Sitaro berada di antara Gunung Ruang dengan Biaro dan perairan di belakang Desa Buang-Biaro.
“Ada informasi menarik yang didapatkan dari nelayan Batuwingkung. Selama enam tahun berturut-turut (sekitar tahun 2002-2007), nelayan di sana tidak mendapatkan hiu sama sekali. Fenomena tersebut yang coba untuk dicari tahu penyebabnya, apakah terdapat pengaruh ENSO (El nino Southern Oscillation) yang menyebabkan bermigrasinya ikan hiu di sana,” pungkasnya.(ipb)