Kikis 3 Juta Buta Aksara di Indonesia, Ini Strategi Kemendikbudristek

Ilustrasi membaca.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

VIVA – Tak bisa dipungkiri lagi, saat ini angka buta aksara di Indonesia menunjukkan penurunan yang signifikan setiap tahunnya seiring dengan terlaksananya berbagai strategi yang inovatif dan sinergi berbagai pemangku kepentingan. 

Saatnya Magang Mahasiswa Naik Kelas

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, persentase dan jumlah penduduk buta aksara telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan persentase dan jumlah buta aksara tahun 2021. 

“Persentase buta aksara tahun 2019 sebanyak 1,78 persen atau 3.081.136 orang, dan pada tahun 2020 turun menjadi 1,71 persen, atau menjadi 2.961.060 orang,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Jumeri dalam keterangannya di Jakarta, Senin, 6 September 2021. 

Kampus Merdeka: Inovasi Pendidikan yang Melahirkan Generasi Siap Bersaing

Adapun beberapa langkah strategis yang telah dilakukan dan dinilai mampu mendorong percepatan penuntasan buta aksara di Indonesia dengan capaian angka melek aksara untuk usia 15-59 tahun di atas 98 persen adalah sebagai berikut. 

Langkah pertama, pemutakhiran data buta aksara bekerjasama dengan BPS. Dengan demikian, dapat diukur capaian penuntasan buta aksara dan diketahui peta sebaran penduduk buta aksara tersebut sampai tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota. 

Transformasi Kampus Merdeka: Membangun Kampus Bebas Kekerasan Seksual

"Mengacu pada peta sebaran buta aksara tersebut, kami menetapkan kebijakan layanan program pendidikan keaksaraan,” tuturnya. 

Langkah kedua, peningkatan mutu layanan pendidikan dan pembelajaran keaksaraan dengan fokus utama pada daerah tertinggi persentase buta aksaranya.  Kemdikbudristek melakukan pemberantasan buta aksara dengan sistem blok atau klaster, yaitu memusatkan program di kabupaten terpadat buta aksara pada lima provinsi yang tinggi buta aksaranya yaitu Papua (22,03%), Nusa Tenggara Barat (7,52%), Sulawesi Barat (4,46%), Nusa Tenggara Timur (4,24%), dan Sulawesi Selatan (4,11%). (Sumber: Susenas BPS RI, 2020). 

Sistem blok dalam penuntasan buta aksara ini dipandang cukup efektif dalam upaya menurunkan persentase buta aksara. Bagi wilayah yang memiliki kekhususan, Kemendikbudristek juga menggulirkan program-program keaksaraan dengan memperhatikan kondisi daerah dan kearifan budaya lokal, seperti program Keaksaraan Dasar bagi Komunitas Adat Terpencil/Khusus. 

“Hal ini sebagai upaya untuk menjangkau yang tak terjangkau,” lanjutnya.

Langkah ketiga, Kemendikbudristek mengembangkan jejaring dan sinergi kemitraan lintas sektor dalam penuntasan buta aksara dan pemeliharaan kemampuan keberaksaraan warga masyarakat. 

Kata dia, mekanismenya dengan melakukan sharing anggaran antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Selain itu kemitraan dengan perguruan tinggi, melalui kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik yang dikoordinasikan oleh Pusat/Balai Pengembangan PAUD dan Dikmas serta Dinas Pendidikan kabupaten dengan sasaran lembaga pendidikan nonformal dan organisasi mitra yang bergerak di bidang pendidikan seperti Aliansi Masyarakat Adat. 

Tahap akhir, untuk mengimplementasikan layanan program pada daerah terpadat tersebut, diperlukan inovasi seperti inovasi layanan program secara daring sehingga mempercepat akses oleh penyelenggara/pendidik/peserta didik melalui http://dapo.dikdasmen.kemdikbud.go.id dan http://sibopaksara.kemdikbud.go.id. 

Dilanjutkan Jumeri, penggerak pendidikan keaksaraan perlu memandang pandemi COVID-19 sebagai momentum yang tepat bagi untuk mengubah paradigma pendidikan dan pembelajaran. 

“Mulai dari menganalisis peran pendidik, kebijakan, sistem, tata kelola, serta tindakan yang efektif yang dapat mendukung aktivitas pendidikan dan pembelajaran. Terutama dengan mengintegrasikannya dengan berbagai kemudahan akses informasi berbasis teknologi,” jelasnya.

Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK), Samto mengakui upaya penurunan angka buta aksara menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah tidak efektifnya pembelajaran di masa pandemi. 

“Oleh karena itu, nanti kita akan coba tekankan program untuk wilayah yang tinggi tingkat kebutaaksaraannya. Semua anggaran kita fokuskan untuk memberantas buta aksara di lima wilayah terendah. Jika di lima wilayah tersebut buta aksaranya rendah maka akan meningkatkan angka melek aksara secara agregat,” ujar Samto. 

Di sisi lain, Samto menjelaskan bahwa gerakan literasi digital sudah mulai dikembangkan secara daring di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sejak tahun 2017.  Tentunya, bagi para pengajar kesetaraan dengan koneksi internet yang baik, mereka sudah melakukannya. Tercatat, lebih dari 270 ribu peserta didik kesetaraan sudah menggunakan sistem daring. Bahkan di masa pandemi, jumlahnya diperkirakan makin meningkat. Inilah terobosan bagi pendidikan kesetaraan. 

“Kita juga memberi bantuan peralatan digital untuk Taman Bacaan Masyarakat (TBM) setiap tahun agar bisa memberikan layanan secara digital. Sekarang lebih dari 300 PKBM yang memiliki TBM berbasis digital,” tambahnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya