Mengelola Karbondioksida
- Freepik
VIVA Tekno – Bayangkan saja di masa depan sabun yang dipakai sehari-hari ternyata terbuat dari polusi udara. Atau vodka dibuat dari emisi. Yang pasti, itu semua mungkin akan segera terjadi.
Seperti diketahui, dunia harus melenyapkan satu miliar ton CO2 sampai 2025 untuk mencapai persetujuan iklim Paris. Perusahaan Covestro dari Jerman mengaku bisa mengubah CO2 menjadi bahan baku yang bisa digunakan untuk apa saja.
Misalnya kasur, peralatan medis, kaos kaki, sepatu olah raga, kursi di mobil, pembungkus telefon, lapisan dinding, bahkan lapisan lantai.
Kedengarannya, sih, bagus. Tapi, apakah ini akan punya dampak serius dalam kadar CO2 kita? Dan bagaimanakah penampakan karbondioksida yang sudah didaur ulang?
Upaya penyimpanan karbondioksida sebetulnya sudah ada sejak beberapa dekade lalu. Pada 1970-an, perusahaan minyak yang menggunakan emisi untuk memompa CO2 ke dalam sumur untuk memperbaiki kualitas minyak.
Kita juga bisa mengubah gas polusi tersebut dan menempatkannya di dalam tanah dengan menggunakan teknologi Carbon Capture and Utilization atau CCU. Sekarang teknologi ini sedang naik daun.
Manajer Program dari Inisiatif Global CO2 di Universitas Michigan, Amerika Serikat (AS) Susan Fancy mengaku sangat antusias dengan CCU. Ia menyebut karbondioksida ada di hampir semua benda.
"Kalau saya pergi ke toko baju, maka sebagian besar kainnya sekarang dibuat dari serat sintetik, yang dasarnya adalah bahan bakar fosil. Lalu kasur, di mana sebagian besar dibuat dari busa poliuretan," kata dia, seperti dikutip dari Deutsche Welle, Minggu, 11 Desember 2022.
Christoph Gürtler mengembangkan produk di perusahaan Covestro, dan tahu sangat banyak tentang busa. Ia menunjukkan sebuah blok besar busa poliuretan, yang berbobot sekitar 10 sampai 20 kilogram.
"Jadi, kita mengambil CO2, dan menggantikan sebagian bahan baku fosil yang dibutuhkan untuk membuat kasur," jelasnya. Proses ini menggantikan sekitar 20 persen yang berasal dari fosil dengan CO2 yang didaur ulang.
Di Uni Eropa, lebih dari 30 juta kasur dibuang setiap tahunnya. Jika itu semua ditumpuk, pasti tingginya sekitar 678 kali tingginya puncak tertinggi Himalaya, Gunung Everest.
Akan tetapi, membuat produk-produk ini juga bisa menggunakan banyak energi. Mengubah CO2 menjadi polimer dan bahan bakar biasanya perlu lebih banyak energi dibanding aplikasi lainnya.
Insinyur kimia Görge Deerberg mengatakan, mereka hanya bisa melakukan ini, jika punya energi hijau. Tentang efisiensi energi dalam produksi produk dan bahan dari CO2, ia mengungkapkan pendapatnya demikian.
"Saya rasa ini masalah terbesarnya. Kita tidak punya cukup energi hijau untuk produksi bahan kimia hijau serta produksi baja hijau," tutur dia.
Deerberg mengingatkan bahwa kemungkinan manusia tidak akan menyelamatkan Bumi dengan membeli kaus kaki yang produksinya tidak melepas CO2 sama sekali.
Jumlah karbondioksida yang terkandung di dalam bahan kimia, plastik, dan serat akan terlalu kecil untuk menciptakan dampak signifikan dalam emisi global. Jumlahnya sekitar 40 juta hingga 90 juta ton per tahun.
Sebagai informasi, manusia melepas 33 miliar ton setiap tahunnya. Jadi, kita harus menggantikan karbondioksida dalam proses-proses jauh lebih besar. Percaya atau tidak, industri yang tepat adalah semen, karena 'hanya' 8 persen menyebabkan emisi karbondioksida di Bumi.
"Karena alasan kimia, kita tidak bisa memproduksi semen tanpa melepas CO2. Ini adalah industri yang harus melepas CO2," papar Deerberg.
Menurutnya, jika ada yang bisa menggantikan sebagiannya dengan karbondioksida yang didaurulang dari udara, maka jejak karbon dari fosil bisa dikurangi hingga 50 persen.
Tapi, lanjut dia, pasaran Carbon Capture and Utilization atau CCU masih ibaratnya anak bayi. Jadi, kita masih harus menginvestasikan dana besar bagi teknologi dan infrastrukturnya.
Untuk itu dibutuhkan uang sangat banyak. Tapi semua orang setuju bahwa potensinya ada. Perusahaan konsultasi McKinsey & Company memperkirakan, pasar produk-produk berbasis CO2 pada 2030 akan mencapai nilai antara US$800 miliar (Rp12.482 triliun) sampai US$1 triliun (Rp15.603 triliun).
"Itu akan terjadi jika perusahaan bisa memperkirakan model-model bisnis di masa depan," jelas Deerberg.