Membendung Gelombang 'Big Tech'
- Expat Guide Turkey
VIVA Tekno – Setelah kekacauan pengambilalihan Twitter oleh Elon Musk, perusahaan teknologi kecil dan organisasi nirlaba, seperti Signal, Mozilla dan Proton, ingin agar publik meninggalkan big tech atau perusahaan teknologi raksasa.
Akuisisi Twitter oleh Elon Musk telah membawa perhatian baru pada bagaimana arsitektur internet semakin didominasi oleh segelintir pengusaha yang berkuasa.
Para pimpinan perusahaan kecil berharap reaksi publik terhadap Elon Musk akan membantu perusahaan mereka mendapatkan lebih banyak perhatian.
"Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita memastikan bahwa alternatif tersebut mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan? Ini mengingat monopoli perusahaan teknologi raksasa yang begitu kuat," kata Presiden Signal Foundation Meredith Whittaker, seperti dikutip dari situs Deutsche Welle, Sabtu, 26 November 2022.
Strategi Signal antara lain membuat aplikasinya terlihat dan terasa seperti pesaing besarnya WhatsApp. Organisasi nirlaba yang berbasis di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS) itu baru-baru ini meluncurkan fitur baru yang memungkinkan pengguna memposting video, gambar, atau teks yang hilang setelah 24 jam.
Bedanya, Signal mengumpulkan data sesedikit mungkin, lanjut Whittaker. Signal misalnya, tidak melacak metadata tentang siapa yang berkomunikasi dengan siapa dan kapan, dan tidak mencatat nama atau gambar yang dipilih orang untuk profil mereka.
Tapi persaingan ini tentu saja tidak seimbang. Signal hanya beroperasi dengan staf kecil, berbeda dengan WhatsApp, yang pada 2014 dibeli oleh Facebook, yang sekarang bernama Meta.
Signal sebagai organsiasi nirlaba juga harus mencari sumber alternatif untuk membiayai layanan gratisnya, yang menurut Whittaker, membutuhkan biaya "puluhan juta dolar AS" per tahun untuk pemeliharaan.
WhatsApp menghasilkan sebagian besar pendapatannya dengan akun bisnis berbayar dan pembayaran dalam aplikasi. WhatsApp juga berbisnis dengan data-data penggunanya, dan Meta mendapatkan bagian terbesar dari keuntungannya dengan menjual iklan bertarget berdasarkan data-data pelanggan.
"Signal tidak mungkin melakukan itu. Dananya sebagian berupa sumbangan. Tapi, saya yakin, di antara banyak orang yang menggunakan Signal, ada cukup banyak orang yang bersedia memberikan sumbangan," jelas dia.
Penilaian serupa diungkapkan Mitchell Baker, Direktur Mozilla Foundation, anak perusahaan yang mengembangkan browser web Firefox.
"Kami berada di fase awal perubahan besar, dan perubahan ini memakan waktu lama. Tapi, kami sedang membangun menuju sesuatu," tutur dia.
Mozilla Foundation yang berbasis di San Francisco, AS cenderung mengarah ke dunia modal ventura. Organisasi nirlaba itu dikenal pada awal 2000-an bersama dengan komunitas relawan internet membangun Browser Firefox sebagai perangkat lunak open source.
Dalam waktu kurang dari satu dekade, Firefox berhasil merebut sekitar 30 persen pangsa pasar. Namun, angka itu kembali turun, dan pada 2022, menjadi sekitar 4 persen dengan browser Google Chrome dan Apple Safari sekarang mendominasi pasar.
"Open source menang dalam banyak hal dan sekarang digunakan dalam banyak hal," ungkap Baker. Itulah mengapa Mozilla Foundation, seiring berlanjutnya model nirlaba, meluncurkan dana investasi untuk startup teknologi tahap awal senilai US$35 juta (Rp550 miliar).
"Rencana ini untuk membantu generasi baru pengusaha teknologi yang bertanggung jawab mengembangkan teknologi dengan mematuhi standard privasi Mozilla. Harapannya, ketika banyak aturan privasi online diperketat di tahun-tahun mendatang, hal itu akan menjadi keunggulan kompetitif," kata dia.
Sementara, Direktur Proton Andy Yen, yang membuat layanan email terenkripsi 'Proton Mail', menambahkan jika situasi ini serupa dengan awal gerakan lingkungan, yang menjalani kerja advokasi selama beberapa dekade sebelum kesadaran publik terhadap isu itu bangkit dan menjadi arus utama.
"Sekarang kita tiba-tiba mencapai titik, di mana sikap tidak peduli dengan lingkungan tidak dapat diterima lagi secara sosial. Kesadaran publik tentang privasi online suatu hari akan mencapai titik kritis yang serupa. Mungkin butuh 20 atau 30 tahun, tapi perubahan itu tidak bisa dihindari," papar Yen.