Arti Perang Dingin yang Disebut Joko Widodo dan Joe Biden di KTT G20 Bali
- VIVA/Natania Longdong.
VIVA Tekno – Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 Bali, Indonesia pada 15-16 November 2022 memunculkan kisah menarik. Pertemuan dua puluh negara sahabat ini masih di bawah ancaman pandemi Covid-19, perang Rusia dan Ukraina, serta ancaman krisis ekonomi.
Bicara konflik, sejumlah kepala negara dan pemerintahan G20 menunjukkan sikap 'Perang Dingin' selama pertemuan dua hari tersebut. Sebut saja Rusia dengan Amerika Serikat (AS) dan negara anggota NATO serta Kanada, Inggris dengan China, lalu AS dengan Arab Saudi.
Pertemuan Presiden AS Joe Biden (79) dan Presiden China Xi Jinping (69) menjadi agenda penting karena keduanya sudah terlibat lama Perang Dingin. Mulai dari sengketa Taiwan hingga perang dagang. Tapi, Biden memastikan bahwa tidak ada Perang Dingin baru dengan negeri Tirai Bambu.
"No! No new Cold War," tegas dia kepada awak media yang juga disaksikan Jingping.
Begitu pula dengan Presiden Joko Widodo, yang dalam sambutannya di KTT G20 Bali hari pertama, menegaskan agar jangan sampai negara-negara di dunia jatuh dalam Perang Dingin selanjutnya. Lantas, apa sih yang dimaksud Perang Dingin?
Perang Dingin atau Cold War adalah istilah yang menunjukkan ketegangan sekaligus kompetisi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, sekarang Rusia, pada periode 1947-1991. Kala itu, persaingan terjadi dalam mempertahankan ideologi serta hegemoni dipelbagai kawasan.
Kini, Perang Dingin bangkit kembali. Namun, kali ini, AS tidak berseteru dengan Rusia melainkan China lewat raksasa teknologi mereka seperti Huawei dan ByteDance Technology dengan TikTok.
Ya, dunia sekarang tengah dihadapi Perang Dingin Teknologi (Tech Cold War). Bahkan, negara-negara Eropa sampai ikut-ikutan Paman Sam 'menghukum' perusahaan teknologi kakap Tirai Bambu.
Bahkan, Perang Dingin baru tersebut ibarat membangun Tembok Berlin. Informasi saja, Uni Soviet membuat pagar besi hingga tembok di ibu kota Jerman, Berlin pada 1961. Jadi, kala itu, satu negara dibelah dua dengan dua ibu kota dan ideologi yang berbeda.
Berlin adalah ibu kota Jerman Timur di bawah Uni Soviet dengan ideologi sosialis komunis, dan Bonn merupakan ibu kota Jerman Barat dengan ideologi liberalis kapitalis besutan AS.
Kembali ke pertemuan AS dan China di KTT G20 Bali. Biden mengenang masa-masa ketika dirinya bersama Jinping saat masing-masing masih menjabat sebagai wakil presiden.
Menurut Biden, ia dan Jinping sudah mengarungi perjalanan berkeliling dunia sejauh 27 ribu kilometer dan mereka sudah menjalani 78 kali pertemuan di berbagai kesempatan.
Keduanya berdiskusi selama 3,5 jam tentang apa yang menjadi 'garis merah' bagi kedua pihak dan apakah kepentingan masing-masing negara bisa bertentangan satu sama lain.
Kini, setelah menjabat sebagai Presiden AS, Joe Biden 'masih' memperlakukan Xi Jinping seperti musuh di era Perang Dingin ketimbang sikapnya yang dikenal sebagai birokrat penuh perhitungan.
Xi Jinping adalah putra dari seorang pemimpin revolusioner komunis yang menjadi teman seperjuangan Mao Zedong. Jinping tumbuh sebagai anak yang berada di papan atas dari sistem partai, berdampingan dengan elit militer, dan ia memandang dirinya sebagai penjaga warisan partai.
Nasionalisme yang dibangunnya di China kian tumbuh menjelma jadi sikap anti-Amerika. Sementara Joe Biden adalah politisi kawakan yang punya kemampuan menjalin hubungan diplomatik jangka panjang dengan membenamkan sikap politik pada sikap pribadi.
Tapi, dengan Xi Jinping, ia memandang sosok pemimpin yang berubah dari sejawat yang tangguh menjadi penguasa otoriter yang sangat dominan berkuasa secara domestik dan tumbuh menjadi musuh di tingkat global. KTT G20 Bali seperti menjadi angin segar untuk 'bubarnya Perang Dingin' AS dan China. Tapi, sepertinya, masih jauh panggang dari api.