Meninggal Dunia dengan Cara Tidak Biasa
- Unsplash
VIVA – Pandemi COVID-19 telah membuat jutaan orang di seluruh dunia kehilangan yang mereka sayangi. Itu juga sekaligus mengingatkan kita bahwa hidup itu terbatas. Hal ini pada gilirannya membuat banyak orang berpikir kreatif tentang apa yang mereka inginkan, baik jenazah atau abu mereka, ketika meninggal dunia.
Sementara beberapa orang menginginkan sebanyak mungkin teman dan keluarga untuk dapat melihat pemakaman orang yang mereka cintai. Tapi yang lainnya justru ingin jenazah mereka digunakan untuk tujuan lain. Beberapa dari kita pun menginginkan sesuatu yang lebih dramatis terjadi pada abu jenazah orang terkasih.
Baca: Bercinta di Luar Angkasa Bukan Mustahil
Perusahaan pemakaman Amerika Serikat (AS), Celestis, menawarkan mengirimkan abu jenazah ke luar angkasa. Bisnis ini sudah mereka jalankan selama 20 tahun. Dengan menumpang pesawat ulang alik untuk misi luar angkasa, hal ini memungkinkan orang untuk mengirim abu jenazah keluarga mereka ke orbit dan sekitarnya.
Charles Chafer, salah satu pendiri dan kepala eksekutif Celestis, mengatakan bahwa berkat pengembangan operator ruang komersial, seperti SpaceX milik Elon Musk, mereka saat ini meluncurkan dua hingga tiga kali penerbangan dalam satu tahun.
"Dalam lima tahun ke depan, kami ingin mengirim (abu jenazah ke luar angkasa) setiap tiga bulan," tuturnya, seperti dikutip dari situs BBC, Selasa, 4 Mei 2021.
Lain halnya dengan perusahaan Eternal Reefs yang berbasis di Florida, AS, mengatakan minat akan layanan pemakaman nonkonvensional yang mereka tawarkan kian meningkat di tengah pandemi COVID-19. Sejak 1998, perusahaan itu telah melayani orang-orang yang menghendaki jenazah mereka menjadi formasi terumbu karang buatan di dasar laut.
Hal ini dilakukan dengan menambahkan abu jenazah mereka ke dalam campuran beton yang ramah lingkungan. "Pandemi telah meningkatkan minat, tentu saja," kata George Frankel, kepala eksekutif Eternal Reef. Ia optimistis pandemi COVID-19 telah membuka mata banyak orang pada konsep pemakaman nonkonvensional.
"Ada orang-orang yang memiliki minat dengan laut, tetapi kami juga mendapatkan sejumlah orang yang menyukai gagasan memberi kembali," tuturnnnya. Pada tahun lalu, lebih dari 2.000 terumbu karang buatan perusahaan telah ditempatkan di 25 lokasi di lepas pantai timur AS.
Nah, bagi orang-orang yang menghendaki jenazahnya tetap berada di tanah, perusahaan Recompose yang berbasis di Seattle mengembangkan teknologi "kompos manusia" yang mengubah mayat manusia menjadi tanah.
Jenazah dibaringkan di dalam silinder baja tertutup, bersama dengan serpihan kayu, jerami dan potongan dari tumbuhan polong-polongan yang disebut alfalfa. Tingkat karbondioksida, nitrogen, oksigen, panas dan kelembaban di dalam tabung kemudian dikontrol untuk memungkinkan mikroba dan bakteri berkembang biak.
Setelah 30 hari, proses pengomposan selesai, dan tiga kaki kubik tanah dipindahkan dari tabung untuk kemudian diawetkan dan diangin-anginkan selama beberapa peka. Lalu, tanah disebarkan di hutan konservasi di negara bagian Washington yang dirawat dengan baik, tapi keluarga juga dapat menyimpan tanah itu, atau kombinasi keduanya.
Katrina Spade, yang mendirikan bisnis itu pada 2017, mengatakan bahwa dia melihat pelonjakan pengajuan aplikasi untuk program pembayaran di muka sejak pandemi COVID-19 bermula.
"Ini lebih merupakan cara bercakap-cakap dengan diri sendiri dan teman serta keluarga Anda. Tapi juga membuat upaya bersama untuk mempertaruhkan tanah, dan mengatakan jika Anda meninggal dunia, maka Anda menginginkan satu pilihan, yaitu berperilaku lembut pada planet ini," tegas dia.
Tahun ini, sektor layanan perawatan kematian global diperkirakan bernilai US$110 miliar atau Rp1.500 triliun, menurut firma riset pasar The Business Research Company.
Diperkirakan bahwa ini akan meningkat menjadi US$148 miliar atau Rp2.100 triliun pada 2025. Meningkatnya pilihan terkait apa yang dapat Anda lakukan dengan jenazah orang yang Anda cintai dan pertumbuhan teknologi terkait, terjadi karena jumlah kremasi dalam beberapa dekade terakhir terus meningkat.
Di AS misalnya, diperkirakan 56 persen orang meninggal dunia tahun lalu dikremasi, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 78 persen dalam 20 tahun ke depan. Padahal, pada 1960-an angkanya hanya 4 persen.
Gambaran serupa terjadi di Inggris, di mana 78 persen jenazah orang yang meninggal dunia dengan dikremasi pada 2019, jauh lebih tinggi ketimbang 35 persen pada 1960.
Peter Billingham, pakar industri pemakaman dan akhirat yang tinggal di Inggris, menjalankan podcast berjudul Death Goes Digital. Ia mengatakan pandemi COVID-19 mempercepat penggunaan dan penerimaan teknologi di sektor tersebut. "COVID-19 telah mempercepat perubahan ini jauh lebih banyak daripada yang saya yakini akan terjadi oleh pertumbuhan alami," jelas Peter.