4 Ilmuwan Kulit Hitam Punya 'Sihir' Mengubah Dunia
- CNET
VIVA – Beberapa waktu terakhir, gerakan Black Lives Matter menggema di seluruh negeri Amerika Serikat (AS) hingga dunia. Pemicunya adalah kematian pria berkulit hitam bernama George Floyd oleh polisi berkulit putih.
Gerakan ini salah satunya untuk menghapus rasisme yang sering terjadi. Walaupun sejumlah tokoh ternama dunia merupakan orang kulit hitam, tetapi tidak menghilangkan tindakan rasis tersebut.
Tokoh berkulit hitam itu termasuk ilmuwan yang sudah menemukan obat baik penyakit dan mengembangkan teknologi pengubah dunia. Berikut 4 ilmuwan berkulit hitam yang dirangkum VIVA Digital, Jumat, 12 Juni 2020.
Charles Drew
Pria ini merupakan dokter perintis yang mengembangkan metode baru untuk menyimpan transfusi darah. Ia juga membuat bank darah pertama di dunia. Mengutip Live Science, Drew kuliah di Amherst College di Massachusetts dan McGill University of Medicine di Montreal.
Ia menerima penerimaan yang akhirnya ditangguhkan di Harvard, padahal hanya segelintir orang berkulit hitam yang diterima saat itu namun tidak mau menunggu. Pada 1940, saat Perang Dunia II, dirinya menjadi direktur proyek 'Blood for Britain'.
Misi tersebut untuk mengirimkan darah dan plasma membantu warga sipil serta tentara yang memerangi Nazi. Drew membuat standard protokol untuk mengumpulkan dan menyimpan darah, yang akhirnya membantu menguji coba bank darah berjalan.
Namun sayangnya karena rasisme dan pemisahan, Angkatan Darah Amerika Serikat menyatakan jika orang kulit hitam tidak bisa mendonorkan darah.
Bahkan, setelah aturan dicabut orang kulit hitam hanya bisa memberikan darahnya pada orang kulit hitam lagi. Drew mengutuk kebijakan tersebut sebagai sesuatu yang tidak ilmiah dan diskriminatif.
Patricia Bath
Bath merupakan dokter spesialis mata dan laser Amerika. Ia tercatat menjadi dokter pertama yang diangkat Fakultas Kedokteran Universitas California, Los Angeles (UCLA), Jules Stein Eye Institute pada 1974.
Saat menyelesaikan pelatihan medisnya di New York City, Amerika Serikat pada 1969. Bath sadar jika banyak pasien tunanetra di klinik mata Harlem, New York dibandingkan dengan Klinik Mata di Universitas Columbia. Penyebabnya adalah kurangnya akses ke perawatan mata di Harlem.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Bath mengusulkan suatu disiplin baru yaitu melatih sukarelawan untuk menawarkan perawatan mata primer pada masyarakat yang tidak terlayani. Hingga saat ini, konsep tersebut sering digunakan di dunia untuk menyelamatkan masyarakat dunia.
Ia juga melakukan penelitian pada katarak yaitu menemukan metode dan perangkat baru untuk menghilangkan penyakit tersebut. Probe laserphaco dipatenkan olehnya pada 1986 dan alatnya masih digunakan hingga saat ini di seluruh dunia.
Mae C. Jemison
Jemison tercatat sebagai astronot wanita Afrika-Amerika pertama. Dia mendapat pelatihan astronot NASA pada 1997, seperti dikutip laman Biography. Pada 1992, ia menuju ke ruang angkasa dan menjadi wanita Afrika-Amerika pertama yang ada di sana. Jemison pergi bersama enam astronot lainnya menggunakan kapal Endeavour pada misi STS47.
Sebelum menjadi astronot, dirinya merupakan seorang dokter yang mendapat gelar MD atau Doctor of Medicine. Pada 1981, Jemison magang di Los Angeles County atau Universitas Southern California Medical Center lalu bekerja sebagai dokter umum.
Jemison pernah menjadi petugas media Korps Perdamaian untuk Sieera Leone dan Liberia selama dua setengah tahun. Kembali ke Amerika Serikat pada 1985, ia akhirnya mengubah karirnya, dan pada Oktober melamar mengikuti program pelatihan astronot NASA.
Percy Julian
Pria ini merupakan ahli kimia perintis dan menjadi kulit hitam pertama yang terpilih di National Academy of the Sciences. Pada 1990, ia terpilih ke National Inventors Hall of Fame, dan pada 1999 sintesis Physostigminenya diakui oleh American Chemical Society sebagai salah satu dari 25 besar pencapaian teratas sejarah kimia di Amerika.
Walaupun sempat sulit sekolah menengah karena berkulit hitam, cucu mantan budak ini mendaftar ke DePauw University di Greencastle Indiana. Untuk itu dia harus mengambil kelas tingkat sekolah tinggi setiap malamnya agar bisa sama level akademiknya dengan rekan-rekannya.
Setelah lulus, dia menjadi instruktur kimia di Fisk university. Pada 1923, dirinya menerima beasiswa untuk menyelesaikan master di Universitas Harvard dan akhirnya mendapatkan gelar Ph.D di Universitas Wina, Austria pada 1931.
Dengan gelar doktor, Julian kembali ke DePauw untuk melanjutkan penelitiannya. Pada 1935, Julian mendapatkan klaim internasional dengan mensistensiskan physostigmine dari kacang calabar untuk mengobati glukoma.
Namun sayangnya dengan kesuksesan hasil penelitiannya, universitas tersebut menolak menjadikannya profesor. Ini disebabkan ras kulit hitam yang dimilikinya.