Tiga Pemicu Banjir Sulawesi Selatan
- VIVA/Yasir
VIVA – Banjir bandang melanda 53 kecamatan di Sulawesi Selatan. Bencana tersebut mengakibatkan ribuan warga mengungsi dan delapan korban meninggal dunia per data Rabu 23 Januari 2019.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mengungkapkan ada tiga faktor meteorologis yang saling berhubungan dan memicu banjir parah tersebut. BMKG menyebutkan tiga faktor ini mengamplifikasi dan menimbulkan dahsyatnya banjir di Sulawesi Selatan.Â
Kepala Sub bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara, Siswanto menuturkan, setidaknya ada tiga keadaan atmosfer yang secara umum dapat mewujudkan aktivitas pembentukan awan yang sangat kuat di wilayah bagian tengah Indonesia itu.
Ketiga hal yang dimaksud yaitu menguatnya aliran monsun dan daerah pertemuan angin antar benua atau intertropical convergence zone (ITCZ) di atas laut Jawa, pertumbuhan bibit siklonÂ
95P di perairan utara Australia dan gelombang atmosfer Osilasi Madden Julian (MJO).
Untuk diketahui monsun merupakan iklim yang ditandai oleh pergantian arah angin dan musim hujan atau kemarau selang lebih kurang enam bulan, mengikuti posisi matahari pada Juni dan Desember, terdapat di daerah tropis dan subtropis yang diapit oleh benua dan samudera.
Aliran monsun dan  ITCZ
Indeks monsun menunjukkan penguatan angin monsun Asia dan melemahnya anginÂ
monsun Australia di atas wilayah Indonesia.Â
Menguatnya monsun Asia mendorong arus aliran massa udara lintas ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Di bagian tertentu, muncul daerah pertemuan antara kedua angin monsun tersebut yang dikenal sebagai ITCZ.Â
"ITCZ merupakan daerah pertemuan angin yang membentuk awan penghasil hujan yang berada di sekitar wilayah itu, sehingga hujan turun cukup deras secara berkesinambungan," jelasnya kepada VIVA, Kamis 24 Januari 2019.
Siswanto mengatakan, ITCZ merupakan sumbu arus angin pasat di daerah tropis yang memisahkan pasat timur laut dari pasat tenggara. Bisa juga ITCZ merupakan pertemuan antara angin pasat dari belahan bumi utara (BBU) dengan angin pasat dari belahan bumi selatan (BBS).Â
Angin pasat merupakan angin yang berembus di antara garis balik utara dan garis balik selatan yang tetap alirannya.
Sistem perawanan dalam ITCZ yang terbentuk adalah kluster awan dengan pertumbuhan vertikal yang luar biasa. Seperti halnya konvergensi yang terjadi di atas Bali dan Nusa Tenggara yang terjadi kali ini merupakan pemusatan pertumbuhan awan.
Bibit siklon 95P di perairan utara Australia
Sepekan sebelumnya, BMKG telah mengidentifikasi adanya bibit siklon tropis 95P di Teluk Carpentaria Australia (sebelah selatan Papua) dan 96S di Samudera Hindia (sebelah selatan Jawa).Â
Dalam perkembangannya, pada 21 hingga 22 Januari 2019, bibit siklon 95P terus menguat dan terdapat potensi untuk meningkat menjadi level siklon. Keberadaan pusarannya di perairan utara Australia dekat Darwin dapat menarik aliran massa udara menuju ke sekitar pusat pusarannya,Â
dan menciptakan daerah pertemuan-pertemuan angin (konvergensi) jauh dari pusatnya.Â
Daerah konvergensi itu tampak jelas terbentuk di atas Sulawesi, Perairan Laut Jawa di bawah Pulau Sulawesi, Laut Banda, di atas wilayah NTB-NTT, dan Samudera Hindia selatan Pulau Jawa.
Gelombang atmosfer Osilasi Madden Julian (MJO)
Analisis pada 20 Januari 2019 menunjukkan, MJO aktif di fase 4 (Perairan Indonesia bagian barat hingga tengah) dan diprediksi tetap aktif, bergerak memasuki fase 5 dan 6 (Perairan Timur Indonesia dan Pasifik tengah) hingga dasarian III Januari 2019.Â
Berdasarkan peta prediksi spasial anomali radiasi balik gelombang panjang (OLR) yang menunjukkan suplai uap air, selama dasarian III Januari 2019 wilayah konvektif mendominasi wilayah Indonesia yang mendukung peningkatan awan-awan hujan di wilayah tersebut.