Lima Teknologi Pencegah Banjir

Banjir di Boulevard Barat Raya, MOI Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Sumber :
  • Repro Twitter

VIVA – Jakarta merupakan salah satu ibu kota di dunia yang rawan terhadap banjir. Seiring berkembangnya kota, banjir menjadi lebih sering karena infrastruktur perkotaan tidak dapat mengakomodasi kebutuhan drainase lahan yang berubah menjadi hutan beton.

Maka tak heran, posisi Jakarta diperkirakan akan seperti kota Amsterdam di Belanda, yaitu wilayahnya di bawah permukaan air laut.

Meski begitu, bukan berarti banjir tidak bisa ditangani. Sejumlah negara seperti Jepang, Inggris, dan Belanda, berupaya keras mengembangkan teknologi untuk pengendalian banjir.

Berikut lima teknologi yang dimaksud seperti dikutip dari situs Thoughtco, Minggu 18 Februari 2018.

Thames Flood Barrier, London, Inggris

Para insinyur negeri Ratu Elizabeth II merancang penghalang banjir bergerak inovatif untuk mencegah banjir di sepanjang Sungai Thames atau Thames Flood Barrier.

Penghalang ini terdiri dari 9 gerbang baja berongga dengan panjang mencapai 520 meter di sepanjang sungai. Ketika terbuka, gerbang ini memungkinkan air di Sungai Thames mengalir bebas dan bisa dilewati oleh kapal.

Thames Flood Barrier.

Ketika tertutup, pintu diputar ke atas sampai mereka memblokir aliran sungai. Meski berongga namun ketebalan bajanya mencapai 1,6 inchi dengan rentang 61 meter dan masing-masing memiliki berat 3.200 ton.

Gerbang terisi oleh air saat terendam dan muncul dipermukaan sungai ketika sedang kosong. Gerbang Penghalang Thames dibangun antara 1974 dan 1984 dan telah ditutup dalam mencegah banjir lebih dari 100 kali.

Iwabuchi Floodgate, Jepang

Negeri Matahari Terbit ini merupakan negara kepulauan yang memiliki sejarah panjang soal banjir.

Untuk melindunginya, terutama wilayah pesisir, para insinyur Jepang sudah mengembangkan sistem saluran kanal dan pintu gerbang yang kompleks.

Pascabencana banjir pada 1910, Jepang mulai mengeksplorasi cara-cara untuk melindungi dataran rendah di sekitar ibu kota Tokyo.

Iwabuchi Floodgate atau Akasuimon (Red Sluice Gate) dirancang pada 1924 oleh Akira Aoyama, seorang arsitek Jepang yang juga bekerja di Terusan Panama.

Iwabuchi Floodgate.

Gerbang air ini dikendalikan oleh motor "aqua-drive" atau tekanan air secara otomatis yang menciptakan kekuatan untuk membuka dan menutup gerbang sesuai kebutuhan.

Motor hidrolik tidak menggunakan listrik, sehingga tidak terpengaruh oleh gangguan listrik yang bisa terjadi saat badai.

Eastern Scheldt Storm Surge Barrier, Belanda

Seperti kita ketahui bersama, 60 persen populasi Belanda yang hidup di bawah permukaan laut. Tak pelak, sistem pengendalian banjir yang andal tidak bisa tidak dilakukan.

Periode 1950 dan 1997, Belanda mendirikan Deltawerken (the Delta Works), sebuah jaringan bendungan, pintu air, kunci, tanggul, dan penghalang badai yang canggih.

Salah satu Proyek Deltaworks yang paling mengesankan adalah Eastern Scheldt Storm Surge Barrier, atau Oosterschelde. Alih-alih membangun bendungan konvensional, Belanda membangun penghalang dengan gerbang bergerak.

Ancaman Banjir Bayangi Pencoblosan Pilkada Jakarta

Ketika Eastern Scheldt Storm Surge Barrier selesai dibangun pada 1986, ketinggian air laut berkurang dari 3,40 meter (11,2 kaki) menjadi 3,25 meter (10,7 kaki).

The Maeslant Storm Surge Barrier, Belanda

1.687 Warga Terdampak Banjir di Periuk, Pemkot Tangerang Aktifkan 15 Mesin Pompa Air

Proyek Deltaworks lainnya adalah Maeslantkering, atau Maeslant Storm Surge Barrier. Letaknya di Perairan Nieuwe Waterweg antara kota Hoek van Holland dan Maassluis.

Selesai pada 1997, Maeslant Storm Surge Barrier adalah salah satu struktur bergerak terbesar di Bumi. Saat air pasang atau naik, dinding yang terkomputerisasi langsung menutup rapat dan tangki air memenuhi penghalang.

Tanggul Jebol Imbas Hujan Deras, Warga di Periuk Tangerang Kebanjiran

Berat air mendorong dinding dengan kuat ke bawah dan membuat air tidak lewat.

The Hagestein Weir.

The Hagestein Weir, Belanda

The Hagestein Weir adalah satu dari tiga tempurung bergerak, atau bendungan, di sepanjang Sungai Rhine.

Bendungan yang selesai dibangun pada 1960 itu memiliki dua gerbang lengkung yang sangat besar untuk mengendalikan air dan menghasilkan
tenaga di Sungai Lek dekat Desa Hagestein.

Gerbang ini membentang sepanjang 54 meter dengan engsel terhubung ke beton abutment.

Dengan posisinya di atas maka untuk menutup saluran harus diputar ke bawah. Bendungan atau gerbang air seperti Hagestein Weir telah menjadi model bagi para insinyur pengendalian air di seluruh dunia.

Contohnya, Amerika Serikat dengan Fox Point Hurricane Barrier, di mana tiga gerbang, lima pompa, dan serangkaian tanggul melindungi Providence, Rhode Island, usai terjangan Badai Sandy pada 2012. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya