Digitalisasi Industri Tekstil pun Tak Bisa Dihindari
- VIVA.co.id/Siti Sarifah Alia
VIVA.co.id – Kementerian Perindustrian memproyeksikan pada 2019, ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) bisa mencapai US$15 miliar dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 3,11 juta orang. Salah satu pemicunya adalah digitalisasi yang membuat mass customization, sekaligus meningkatkan efisiensi dan produktivitas, tidak bisa dihindari lagi.
Hal ini diungkapkan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, saat memberikan keynote speech di ajang The International Textile Manufacturers Federation (ITMF) di Bali, kemarin.
Diperkirakan pada tahun itu, akan ada penambahan kapasitas produksi sebesar 1.638 ribu ton per tahun dengan nilai investasi Rp81,45 triliun dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 424.261 orang.
"Kita dorong industri TPT nasional, agar segera memanfaatkan teknologi digital seperti 3D printing, automation, dan internet of things sehingga siap menghadapi era industry 4.0. Upaya transformasi ini diyakini dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas, selain melanjutkan program restrukturisasi mesin dan peralatan," katanya kala itu.
Dalam kesempatan yang sama, CEO and Co-Founder 88Spares.com, Hartmut Molzhan setuju dengan pernyataan tersebut. Menurutnya, industri tekstil nasional yang mengambil pangsa pasar internasional 2 persen ini tak bisa menolak kehadiran digitalisasi yang sudah menjadi fenomena global.
"Beberapa dampak dari digitalisasi yang terjadi pada sebuah industri yakni munculnya produk yang beragam, inovasi baru, dan terakhir model bisnis yang berubah. Ke depan, saya prediksi ini bisa terjadi di industri tekstil di mana mass customization itu tak bisa dielakkan," kata Molzhan dalam keterangannya, Sabtu, 16 September 2017.
Ditambahkannya, 88spares.com dengan platform B2B marketplace ingin mendorong digitalisasi itu lebih cepat masuk ke industri tekstil nasional agar pelaku usaha Indonesia menjadi kompetitif di masa depan.
"Kita ingin menyambungkan pabrik, vendor, dan industri kecil menengah (IKM) agar bisa berbisnis secara efisien, cepat dan murah. Saat ini sudah saatnya pedagang dan pembeli melakukan perdagangan dengan cara e-commerce yang tentunya bisa lebih efektif dan efisien dari sisi biaya dan waktu," katanya.
Ditambahkan, tekstil dan produk tekstil memang merupakan komoditas yang tidak akan pernah berhenti sehingga perdagangannya dibutuhkan dan pada akhirnya muncul pedagang baru serta menjadikan persaingan kian ketat. Saat ini, perdagangan suku cadang mesin industri tekstil dan produk tekstil masih didominasi oleh pedagang offline, yang banyak melibatkan pihak ketiga dalam proses transaksi sehingga harga akan lebih mahal.
"Kita ada dua fokus ketika sudah commerce. Pertama, melayani kebutuhan pabrik kain untuk suku cadang. Kedua, membuka akses bagi pabrik atau IKM untuk berinteraksi agar bisa mendapatkan barang murah yang ujungnya produk tekstil Indonesia itu kompetitif untuk ekspor," katanya.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian memperkirakan ekspor industri TPT akan tumbuh rata-rata 11 persen per tahun. Untuk tahun 2018, dipatok sebesar US$13,5 miliar dan tahun 2017 sebesar US$12,09 miliar. Di sisi tenaga kerja, pada 2018, diharapkan sektor ini menyerap sekitar 2,95 juta orang dan hingga akhir tahun ini sebanyak 2,73 juta orang.
Saat ini, industri TPT yang beroperasi di Indonesia telah terintegrasi dengan klasifikasi dalam tiga area. Pertama, sektor hulu yang didominasi menghasilkan produk fiber. Kedua, sektor antara, perusahaan-perusahaan yang proses produksinya meliputi spinning, knitting, weaving, dyeing, printing dan finishing. Ketiga, sektor hilir berupa pabrik garmen dan produk tekstil lainnya.
Berdasarkan data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-9 di dunia untuk Manufacturing Value Added. Posisi ini sejajar dengan Brazil dan Inggris, bahkan lebih tinggi dari Rusia, Australia, dan negara ASEAN lainnya.