Giliran Spanyol Tuding Uber Bersaing Tidak Sehat
- REUTERS/Toby Melville
VIVA.co.id – Pemerintah Kota Madrid telah meminta Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Spanyol untuk menyelidiki layanan transportasi berbasis aplikasi, Uber, di bandara telah melanggar undang-undang persaingan usaha atau tidak.
Perusahaan teknologi yang berbasis di San Francisco, Amerika Serikat itu, menawarkan ongkos 'tarif bawah' antara 15-29 euro (Rp230 ribu-Rp450 ribu) dari bandara ke pusat kota Madrid. Sementara biaya taksi konvensional yang selama ini ditetapkan 30 euro (Rp466 ribu).
Dalam pernyataan resminya, seperti dikutip Voa, Senin, 24 Juli 2017, Pemkot Madrid mengatakan tarif yang diterapkan Uber melanggar beberapa pasal dalam UU Persaingan Tidak Sehat dan Hak Konsumen.
Sebab, mereka menjalankan kebijakan tarif bawah dan berada di luar keanggotaan Organda. Pengemudi taksi konvensional di Spanyol menggelar aksi mogok pada Maret dan Mei tahun ini untuk memprotes keberadaan Uber dan layanan mobil serupa di Madrid, Cabify.
Adapun serikat pekerja di Spanyol mengklaim kedua perusahaan itu melanggar undang-undang yang menetapkan bahwa seharusnya hanya ada satu kendaraan perusahaan swasta untuk setiap 30 taksi.
Seperti diketahui, Prancis, Denmark, dan Inggris, juga menolak mentah-mentah keberadaan Uber. Sementara di Rusia, Uber memutuskan melakukan merger dengan perusahaan teknologi asal Rusia, Yandex.
Uber telah berinvestasi sebesar US$225 juta (Rp3 triliun), sementara Yandex US$100 juta (Rp1,3 triliun).
Dari hasil merger ini, sebesar 59,3 persen saham perusahaan gabungan milik Yandex, 36,6 persen milik Uber, dan sisanya 4,1 persen untuk karyawan melalui mekanisme MESOP.
Akan tetapi, hal yang berbeda terjadi di Filipina. Warga di sana menolak tindakan keras terhadap Uber, lantaran tidak memiliki izin usaha atau waralaba dalam beroperasi.
Langkah warga ini sampai muncul petisi berupa hashtag #WeWantUberGrab yang menjadi topik teratas di Twitter di Filipina.