Indonesia Butuh Pahlawan Lokal di e-Commerce

Belanja online
Sumber :
  • steelgateglobal.com

VIVA.co.id – Bisnis e-Commerce di Indonesia yang makin marak dipercaya akan bisa tumbuh signifikan dalam beberapa tahun ke depan. Sayangnya, meski banyak situs e-commerce bermunculan dengan cepat, kepercayaan masyarakat masih tumbuh perlahan. Hal ini kemungkinan besar dari sekian banyak e-commerce yang muncul di Indonesia, rata-rata mendapatkan tempaan dan pendanaan dari pihak asing sehingga dianggap belum begitu mengerti tren belanja masyarakat di Indonesia yang sesungguhnya.
 
Indonesia sejatinya membutuhkan e-commerce yang benar-benar memiliki identitas lokal, yang bisa mengerti pasar dan telah mendapatkan kepercayaan dari para pengguna internet. Jika tidak digawangi, bukan tidak mungkin jika Indonesia lagi-lagi akan menjadi negara pengonsumsi, yang lagi-lagi uangnya akan disedot ke luar negeri.

Padahal, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, meski pasar e-commerce di Indonesia belum begitu besar, potensinya akan mengejutkan dalam beberapa tahun ke depan. Jika di tahun 2014, nilainya masih US$12 miliar, tahun ini bisa mencapai US$30 miliar.

"Potensi Indonesia di e-commerce luar biasa. Jika regulasinya pas, nilainya bisa mencapai US$130 miliar pada 2020 dan kita optimis bisa," ujar Rudiantara, beberapa waktu lalu.

Butuh Pahlawan Lokal

Penetrasi internet yang belum merata, kepercayaan pelanggan yang masih harus dibangun, serta regulasi yang seharusnya bisa menaungi industri lokal, merupakan segelintir masalah dari banyaknya isu yang harus dibenahi pemerintah untuk bisa meraih nilai US$130 miliar sampai 2020 nanti.

Ya, semua bertumpu pada regulasi. Jika regulasi pemerintah memberikan sedikit perhatian pada lokal, bukan tidak mungkin jika salah satu perusahaan retail online asli Indonesia akan tumbuh menjadi seperti Alibaba atau Amazon.

Sedangkan penetrasi internet merupakan tanggung jawab operator dan pemerintah. Dan yang menjadi tanggung jawab pemain e-commerce adalah membangun kepercayaan pengguna sehingga mau terus dan terus kembali berbelanja di situs tersebut.

Dikatakan pengamat industri IT dari Indotelko Forum, Doni Ismanto, Indonesia membutuhkan pahlawan lokal di industri e-commerce yang saat ini dikuasai asing. Menurut dia, jika e-commerce lokal dan barang yang dijual melibatkan UKM lokal maka setidaknya tidak akan ada defisit impor. Apa jadinya jika berbelanja di situs asing seperti milik Alibaba, yang ternyata barangnya harus impor dan dipastikan harganya lebih mahal.

"Salah satu kandidat kuat sebagai local hero adalah Matahari mall, yang sejauh ini kepemilikan mayoritas masih di Lippo Group. Skema pencarian dana mereka bukan mengharapkan adanya seeding dari venture capital tetapi murni pinjaman. Dari sini bisa dilihat jika pemilik ingin serius di bisnis ini," ujar Doni.

Menurutnya, saat ini kebanyakan e-commerce dibangun hanya untuk dijual kembali. Istilahnya, build to sell. Sedangkan skema pendanaan melalui pinjaman membuktikan jika perusahaan ingin membangun bisnis tersebut, atau build to develop.

Matahari Mall memiliki dana awal dari Group Lippo senilai US$500 juta. Pada April 2015, mereka mendapatkan pinjaman dari Credit Suisse dan Bank of Amerika Merril Lynch dengan total pendanaan babak pertama sebesar US$200 juta. Dengan dukungan Grup Lippo, Matahari Mall ditargetkan menjadi perusahaan eCommerce dengan penjualan sebesar US$1 miliar – yang terbesar di Indonesia – dan akan menjadi Alibaba versi Indonesia.

"Kekuatannya ada pada jaringan gerai Matahari. Bahkan mereka juga bekerja sama dengan PT Pos untuk drop off dan ambil barang. Mereka mendukung konsep Online to Offline. Di China, platform O2O yang membuat e-commerce bisa tumbuh besar karena hemat biaya logistik," kata Doni.

Online to Offline dan Kepercayaan Konsumen

Diakui, situs belanja yang ada saat ini memang hanya mengandalkan pengiriman barang dengan jasa kurir atau layanan pengiriman pihak ketiga. Tidak heran jika kemudian ada kejadian barang tertukar atau tidak sampai tujuan.

Matahari Mall secara tidak langsung muncul dengan format yang berbeda dengan situs belanja kebanyakan. Di saat banyak orang masih belum percaya dengan sistem pengiriman barang belanja online, Matahari Mall mencoba memberikan solusi dengan beragam metode pengiriman barang, baik melalui titipan kilat atau mengambil barang pesanan melalui titik yang telah ditentukan.

Metode ini dinamakan online to offline. Ketika pelanggan berbelanja melalui situs Matahari Mall, barang yang dipesan bisa diambil di lokasi grup Lippo, baik di Matahari Departemen Store, Hypermart, Lippo Mall dan lainnya. Pihak Matahari Mall mengklaim sudah ada 50 titik lokasi yang akan dilibatkan untuk pengambilan barang. Metode ini kemudian diikuti oleh situs belanja yang baru saja diluncurkan, Alfacart, yang merupakan transformasi dari Alfamart Online.

Tidak hanya itu, untuk memberikan kepercayaan kepada pengguna, Matahari Mall juga menyediakan eLocker yang melibatkan beberapa fasilitas umum, seperti stasiun kereta api. Prosesnya sama. Pengguna bisa mengambil barang pesanannya di 27 lokasi stasiun yang telah dilibatkan oleh Matahari Mall. Mereka juga bekerja sama dengan PT Pos untuk drop off barang. Dengan konsep O2O ini pun diyakini akan meningkatkan kepercayaan pengguna e-commerce di daerah.

Sistem pembayaran yang diterapkan Matahari Mall juga tergolong memudahkan pengguna. Selain sistem Cash on Delivery (CoD), pengguna jika bisa membayar melalui kartu kredit. Bahkan Matahari Mall menjadi situs belanja pertama yang menerapkan cicilan, meski nilai belanja hanya Rp100 ribu sekalipun.

Beban Berat dan Persaingan Ketat

Selain Matahari Mall, situs belanja lain yang memiliki cita rasa lokal dan menerapkan konsep O2O adalah Alfaonline yang sekarang bernama Alfacart. Keduanya sama-sama memiliki kekuatan di offline dan masih meningkatkan transaksi. Dipastikan keduanya juga masih butuh pendanaan.

"7.000 cabang Alfamart, bisa untuk pick up, payment, delivery point, drop off point," Chief Executive Officer (CEO) Alfacart.com, Catherine Hindra Sutjahyo di Gandari City kemarin. Saat ini Alfamart di Indonesia berjumlah 11.750 outlet.

Menurut Doni, e-commerce lokal ini masih harus berdarah-darah karena di Indonesia, belanja online belum menjadi kebutuhan rutin. Pemilik platform masih harus punya stamina besar untuk subsidi ke merchant dan pemasaran via iklan. Selain itu juga dengan tetap me-maintain kepercayaan pelanggan.

"Beban itu lumayan berat. Pemerintah sebaiknya memberikan sentuhan sedikit di sisi fiskal dan berpikir memberikan insentif dari sisi peningkatan penetrasi," kata Doni.

Kuncinya ada di regulasi yang mendukung dari pemerintah dan strategi memikat pelanggan yang diterapkan pemilik platform. Jika keduanya berjalan mulus, dengan pendanaan yang kuat seperti milik Grup Lippo, bukan tidak mungkin jika Indonesia memiliki Alibaba versi lokal.

Pebisnis Harus Melakukan ini! Rahasia Sukses di Dunia Digital: Visual Search, Revolusi Microblogging

(ren)