Pengembang Web3 Diminta Jangan Malas
- CoinDesk
Jakarta, VIVA – Berdasarkan laporan dari Emergen Research, pasar Web3 Asia Tenggara diproyeksikan bernilai US$6,4 miliar (Rp98,8 triliun) pada 2030 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 50,2 persen. Lalu, Chainalysis menyebut Indonesia menempati posisi ke-7 di indeks kripto dunia.
Mengacu dari data di atas maka pasar Web3 diyakini tumbuh pesat di Tanah Air karena tersedianya infrastruktur yang dapat menjembatani investor kripto dalam negeri untuk berinvestasi, trading, dan juga berselancar ke dunia Web3, yang semuanya dapat dilakukan melalui satu aplikasi Pintu.
"Kami juga yakin pengembang (developer) di Indonesia tidak hanya tumbuh dari segi jumlah, namun mampu menghadirkan inovasi berskala global,” kata Head of Community Pintu, Jonathan Hartono, Senin, 26 Agustus 2024.
Aplikasi kripto all-in-one ini ikut meramaikan Coinfest Week yang bertemakan “Unleashing Southeast Asia Web3 Potential”.
Qin En Looi, Partner dari Saison Capital mengungkapkan, industri Web3 di Asia punya potensi yang lebih besar, khususnya yang bergerak di institusi keuangan karena didukung lingkungan yang lebih baik.
"Saya pikir caranya sangat sederhana seperti mendorong interaksi pengguna untuk bisa memiliki dompet kripto dengan banyak opsi seperti login melalui media sosial atau email. Selain itu bagaimana juga user interface (UI) dan user experience (UX) yang membuatnya lebih mudah diakses. Menurut saya, developer Web3 jangan malas dan harus terus berinovasi," tegasnya.
Co-founder and CEO Copra Labs Brian Limiardi melihat negara Asia Tenggara lain seperti Thailand atau Vietnam, di mana meski punya komunitas developer dan ukuran pasar yang lebih kecil, namun para founders mampu mengatasi tantangan dengan lebih baik dan terus berkembang.
"Pasar Web3 di Indonesia mungkin punya persaingan yang lebih ketat karena punya ruang Web2 yang sangat besar dan lebih dinamis. Untuk mendorong pasar Web3 tumbuh, katalis utamanya adalah kembalinya sektor Decentralized Finance (DeFi)," ungkap dia.
Selain itu, tantangannya bukan lagi soal kesadaran, tapi lebih kepada hambatan edukasi yang membutuhkan waktu.
"Di Indonesia, saya melihat berada pada tahap paparan pertama kali terhadap kripto. Jadi, banyak energi, uang, dan perhatian yang bergerak ke arah ini," tutur Brian.