Laporan CrowdStrike Mengungkap Risiko Keamanan Sistem Operasi Asing
- www.pixabay.com/6097778
Jakarta, VIVA – Pada 19 Juli 2024, Blue Screen of Death (BSOD) yang fatal mengakibatkan sekitar 8,5 juta sistem Windows mogok global. Insiden ini menyebabkan kerugian sebesar US$500 juta (Rp7,86 triliun) pada Delta Airlines AS dan lebih dari AU$1 miliar (Rp10,41 triliun) pada perusahaan Australia.
Dampak signifikan juga dirasakan pada transparansi, medis, dan sistem operasi pemerintah Indonesia. Menurut laporan analisis dari CrowdStrike yang dirilis pada 6 Agustus 2024, kesalahan mendasar dalam pembaruan produk sensor Falcon menjadi penyebab utama.
Kesalahan ini melibatkan ketidakcocokan antara 21 input yang dikirim ke Content Validator dan 20 input yang diberikan ke Content Interpreter melalui IPC Template Type.
"Masalah ketidak-sesuaian yang sangat dasar dan fundamental ini menunjukkan bahwa peninjauan dan pejaminan kualitas tidak dilakukan dengan benar," ujar Profesor Madya dari Universitas Melbourne, Toby Murray.
CrowdStrike sebagai perusahaan yang melayani militer, pemerintah, dan infrastruktur penting, disebut seharusnya memiliki proses pengujian yang lebih kuat.
"BSOD Windows dimanfaatkan oleh peretas untuk phishing dan aktivitas berbahaya. Semua pihak harus mewaspadai dan mengikuti instruksi dari sumber yang terpercaya," tutur pakar keamanan siber AS, Kenn White.
Dikutip VIVA dari keterangan resmi, Jumat 23 Agustus 2024, pakar keamanan siber Indonesia, Alfons Tanujaya, mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia perlu memperkuat kemandirian dalam teknologi keamanan siber dan melibatkan “pemain lokal” untuk peningkatan keamanan.
Selain itu, penting untuk memperhatikan disaster recovery dan business continuity dalam pengelolaan pusat data nasional. Ketergantungan pada sistem operasi AS berisiko meningkatkan ancaman keamanan siber dan kebocoran data di Indonesia.