Kekuatan Besar Mau 'Kawin Paksa' Grab dan Gojek
- YouTube
VIVA – Para 'pembesar' atau investor kuat berupaya keras, melalui Softbank, agar Grab dan Gojek ‘kawin paksa’ alias merger. Informasi saja, Grab diketahui memperoleh suntikan dana dari SoftBank dan Microsoft. Sedangkan, Gojek meraih pendanaan dari Vincent dan Google.
"Kekuatan yang bermain di sini 'tingkat dewa' dari sekadar apa yang diinginkan Grab atau Gojek, atau memang tidak diinginkan. Jadi ini tentang sejumlah pemegang saham berpengaruh jangka panjang di kedua perusahaan yang ingin membendung kerugian yang mereka alami," kata salah satu investor dari Grab yang tidak ingin diungkap identitasnya, seperti dikutip dari situs Pymnts, Senin, 9 Maret 2020.
Sumber tersebut juga mengungkapkan telah ada pembicaraan intens antara kedua musuh bebuyutan di Asia Tenggara itu, selama setidaknya dua tahun.
Akan tetapi, dalam beberapa bulan terakhir telah ada urgensi baru. Hal ini mencerminkan keadaan yang berubah dari pendukung besar Grab, SoftBank, yang berada di bawah tekanan menyusul gagalnya IPO salah satu startup yang disuntiknya, WeWork.
Fakta terkait perundingan yang sedang dilakukan dengan serius mencerminkan bagaimana lingkungan telah berubah di Asia, di mana belum lama ini, baik pengusaha maupun investor, memprioritaskan pertumbuhan dengan mengorbankan keuntungan.
Sementara itu, jika keduanya bergabung diperkirakan nilainya lebih dari US$23 miliar atau Rp326,6 triliun. Di mana keduanya telah membakar banyak uang untuk melayani masyarakat dengan beragam cara termasuk transportasi online, layanan pesan-antar makanan dan layanan pembayaran di Singapura, Vietnam, Thailand, dan Indonesia.
SoftBank pertama kali berinvestasi di Grab pada 2014 dan dalam beberapa putaran pendanaan selanjutnya mengatakan tak ada lagi penyelamatan, setelah apa yang terjadi kepada WeWork.
Namun sejak saat itu, sejumlah perusahaan startup tertekan termasuk Perusahaan perhotelan asal India, OYO dan perusahaan perjalanan asal China, yaitu Didi Chuxing. Grab dan Gojek pun disebut-sebut tidak menguntungkan.
Belum lagi tekanan pada masa depan Grab dan Gojek, datang dari Elliott Management Corporation, yang merupakan pemegang saham SoftBank, yang menuntut perusahaan investasi kakap asal Jepang itu untuk menghadapi kerugian.
"Hal ini bukan satu-satunya pilihan tetapi itu adalah opsi yang paling mungkin. Tapi kemudian ada masalah manajemen yang kurang rasional. Jika pembicaraan gagal maka mereka akan memecah ego manajemen. Jadi tentang siapa yang akan melakukan apa," tuturnya.
Kasus yang pernah terjadi adalah merger Uber dan Grab yang didenda US$13 juta (Rp184,6 miliar) oleh Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) Singapura pada Maret 2018. Pembicaraan antara kedua belah pihak pertama kali dilaporkan oleh The Information. Hingga kini, Grab, Gojek, dan SoftBank sama-sama menolak berkomentar.
Sebelumnya, Grab dan Gojek dikabarkan oleh The Information akan melakukan merger. Grab menolak untuk berkomentar, sedangkan Gojek menyangkal. Meski begitu, pengamat ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal menyebut jika benar merger, maka ekosistem di transportasi online tidak baik karena aktvitas monopoli semakin kuat.
"Kalau terjadi monopoli maka bisa berbuat seenaknya. Ujung-ujungnya konsumen dirugikan. Dengan adanya kompetisi maka semakin banyaknya player (pemain di industri ini) itu bagus untuk konsumen dan efisiensi pasar. Meski mergernya masih spekulasi, ya," kata Fithra kepada VIVA.
Pemain ride-hailing di Indonesia bukan hanya Grab dan Gojek, meski keduanya masih yang terbesar. Mereka adalah Anterin, Bonceng, Cyberjek dan Maxim.