Belanja Online Jadi Tren di Afghanistan Gara-gara Teror Bom
- Reuters
VIVA – Masyarakat Afghanistan saat ini tengah punya kebiasaan baru dalam hidup mereka. Yakni berbelanja online. Ya, cara ini ditempuh karena dianggap lebih aman untuk menghindari ancaman bom dan pelecehan seksual.
Tak cuma kebutuhan akan fashion saja, karena untuk urusan furniture pun mereka percayakan pada belanja secara online. Semakin mudah karena saat ini sudah ada puluhan startup yang memberikan kemudahan bagi warga Afghanistan.
Sejumlah retail kenamaan di sana adalah AzadBazar.af, afom.af, JVBazar.com, dan zarinas.com. Mereka menjual banyak barang, mulai dari kosmetik, komputer, peralatan dapur, furniture, mobil, karpet, hingga real estate.
Pilihan semakin lengkap karena ada berbagai pariwara bermerek asing yang ikut beriklan seperti Rolex, Adidas, dan Zara.
Menurut pendapat yang berkembang, belanja online saat ini merupakan solusi di negara konflik. Apalagi 60 persen masyarakat di sana disebut-sebut maniak smartphone.
"Siapa yang berani berbelanja pada saat terjadi hal seperti itu? Saya yakin ada beberapa orang merasakan kekhawatiran akan sebuah ledakan. Belum lagi dengan kasus pelecehan yang selalu mengikuti seperti bayangan," tulis Reuters, Sabtu 9 Juni 2018.
Sementara itu, seorang pengusaha Rasa Online, Tamim Rasa (28 tahun) mengatakan, dia mendirikan usaha onlinenya sejak delapan bulan lalu dengan modal awal US$30 ribu. Usahanya ternyata laris manis, dan bahkan startup-nya kini sudah bekerja sama dengan 60 toko dan pedagang. Di mana 80 persen pelanggannya adalah wanita.
"Kami bekerja sebagai jembatan penghubung pedagang toko-toko besar dengan pembeli. Kami hampir saja bangkrut. Tapi saat ini kami malah mendapatkan keuntungan besar. Itu menunjukkan kita sedang tumbuh," katanya.
Saat ini Rasa sedang memperluas jaringannya ke provinsi Herat di Barat, Kandahar di Selatan, Balkh di Utara, dan Nangarhar, dekat dengan Pakistan di Timur.
Juru bicara Kementerian Perdagangan, Musafer Qoqandi mengatakan, kegiatan belanja online merupakan sebuah hal 'unik' di tengah-tengah kondisi perang selama lebih dari empat dekade. Sekitar 50 perusahaan menjalankan bisnis tersebut, namun sebagian besar dikatakan tak berizin.
"Sudah saatnya bagi kami untuk bergabung dengan tren ini. Ini memberi harapan bagi kami yang sedang konflik melihat semakin banyak toko tersebut di Afghanistan," kata Musafer.
Pernyataan tersebut juga disetujui oleh seorang mahasiswa bernama Roya Shakeb.
"Saya membutuhkan beberapa buku untuk saya pelajari pada ujian nanti. Saya sudah mencari di toko dan perpustakaan, namun tidak ada. Saat mencari di toko online, saya menemukannya. Keesokan harinya buku tersebut sudah ada di depan pintu rumah saya. Luar biasa."