Bantu Cari Sinar Bangun, BPPT Bawa Teknologi Penemu AirAsia QZ8501

Petugas Dalam Pencarian KM Sinar Bangun di Danau Toba
Sumber :
  • REUTERS/Beawirtha

VIVA – Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas mulai menurunkan alat canggih dalam pencarian bangkai KM Sinar Bangun yang tenggelam di Danau Toba, Sumatera Utara pada 18 Juni lalu. 

Samosir Music Internasional, Lagu untuk Korban KM Sinar Bangun

Basarnas mengerahkan Multi Beam Echo Sounder yang digunakan untuk memetakan kondisi di dasar Danau Toba, Remotely Operated Vehicle (ROV) atau robot di bawah air untuk memastikan indikasi bangkai kapal dengan cara menangkap visual objek yang ditemukan secara langsung.

Pada hari pertama pencarian dengan menggunakan teknologi tersebut, Rabu 27 Juni 2018, ROV telah beroperasi dengan baik hingga kedalaman 450 meter, bahkan mencapai dasar danau di sekitar lokasi terduga bangkai kapal. Namun belum menemukan langsung objek yang diperkirakan sebagai KM Sinar Bangun. 

Kapok Tragedi Sinar Bangun, Kemenhub ‎Ram Check 170 Kapal di Toba

Operasi hari pertama dipimpin langsung Kepala Basarnas Marsekal Madya Saugy dan didukung oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL, BMKG, PT. PADI, dan PT MGS.

Deputi bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA) BPPT, Hammam Riza mengungkapkan, peran dari teknologi kelautan itu tidak selalu untuk kebutuhan riset dan penelitian saja, namun juga untuk kemanusiaan. Empat tahun lalu, teknologi BPPT turut membantu dalam menemukan AirAsia QZ8501 yang jatuh pada 28 Desember 2014.

Benahi Danau Toba, Luhut Sebut Ada 7 Kapal Feri Dibangun

“Semua perekayasa dan peneliti di Indonesia pasti akan setuju jika diminta untuk membantu dalam kebencanaan. Saya yakin mereka akan meminjamkan ilmu dan pemikirannya khususnya dibidang survei kelautan, dan dengan bantuan teknologi, pencarian bangkai kapal akan lebih cepat dan mudah,” ungkap Hammam dalam keterangannya dikutip Kamis 28 Juni 2018.

Hammam menceritakan bagaimana teknologi survei kelautan berperan besar membantu BPPT dalam pencarian kotak hitam pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di perairan Selat Karimata, dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Empat tahun lalu, BPPT terjun dengan menggunakan Kapal Riset BPPT Baruna Jaya 1 (BJ 1). Kapal ini, menurut Hammam, merupakan kapal milik BPPT yang paling cocok untuk memetakan bawah laut, sebab kapal ini telah dilengkapi oleh empat alat canggih, yaitu Multibeam Echo Sounder, Side Scan Sonar, Magneto Meter, dan Remotely Operated Vehicles (ROV).

“Alat canggih yang ada di Kapal BJ 1 biasa digunakan untuk survei bawah laut atau pemetaan dasar laut. Karena resolusi hasil tanggapan gambarnya cukup bagus dalam melihat objek yang kecil di bawah laut, maka teknologi ini kerap kali digunakan untuk operasi SAR,” jelasnya.

Secara teknis, menurut Hammam, Multibeam Echo Sounder memiliki kemampuan memetakan batimetri dengan sapuan sisi hingga 150 derajat. Dengan frekuensi 50 kHz dapat memetakan hingga kedalaman 3000 m dengan maksimum sensor 126 beams.

“Peralatan ini digunakan untuk memetakan dasar laut menggunakan sistem sonar dengan hasil data berupa image profile dasar laut pada kedua sisi sapuannya. Frekuensi kerjanya antara 120-410 kHz dengan maksimum operasi pada kedalaman 2000 meter,” jelas Hammam.

Hammam menyebutkan, Side Scan Sonar merupakan alat yang berbentuk roket ini digunakan untuk melihat kondisi pemetaan objek yang berada di dasar laut. Alat ini bekerja dengan menggunakan teknologi suara ultra medis untuk meningkatkan resolusi target yang dicari.

“Side Scan Sonar mampu membedakan jenis sedimen pembentuk permukaan dasar laut, seperti batu karang, lumpur, pasir, dan objek lainnya,” kata Hammam.

Alat canggih lainnya adalah Magneto Meter. Alat ini adalah adalah instrumen yang digunakan untuk mengukur kekuatan medan magnet bumi. Pengukuran medan magnet bumi ini bertujuan untuk mengetahui lokasi objek di bawah permukaan laut yang berupa logam seperti bangkai kapal karam dan lain sebagainya.

Alat terakhir yang tak kalah penting adalah ROV. Hammam menjelaskan, alat ini memiliki fungsi yang sama untuk melihat kondisi bawah laut, hanya saja, ROV menampilkan gambar visual bergerak secara jelas, langsung, dan dapat dikontrol di atas permukaan laut untuk memastikan yang ditemukan oleh ketiga alat sebelumnya.

Sukses temukan AirAsia QZ8501

Hammam menerangkan, dalam pencarian badan pesawat AirAsia QZ8501 ini, untuk langkah awal, Tim BPPT menurunkan Multibeam Echo Sounder dilanjut dengan Side Scan Sonar yang ditarik Kapal BJ I beberapa meter di bawah permukaan laut.

“Multibeam nantinya akan memotret kondisi morfologi di dalam laut. Bila ada gundukan yang berbeda dari sekeliling, bisa diperkirakan itu berasal dari bangkai AirAsia yang hilang,” jelas Hammam.

Selanjutnya, Side Scan Sonar akan memetakan objek yang sebelumnya terekam bentuknya oleh Multibeam Echo Sounder. Dengan menggunakan prinsip gelombang suara yang dipantulkan, hasil diproses menjadi gambar yang mirip foto udara, dan dapat terlihat secara langsung pada monitor komputer.

Usai kedua alat tersebut, Magneto Meterakan diturunkan untuk memastikan apakah yang ditemukan mengandung logam atau tidak. 

“Kalau trafonya tinggi, berarti mengandung logam. Untuk memastikannya, kita turunkan alat terakhir ROV,” ucapnya.

ROV akan merekam benda di sekeliling temuan ketiga alat sebelumnya melalui padangan visual bergerak. 

Tim BPPT akhirnya berhasil menemukan bagian ekor pesawat tepat di hari ke-9 pencarian yakni 7 Januari 2015. BPPT kala itu menjadi tim pertama yang berhasil mengidentifikasi bangkai pesawat AirAsia QZ8501.

Empat hari berselang, Tim BPPT mengidentifikasi sinyal PING dari pesawat AirAsia QZ8501 berada di sekitar 4 kilometer dari area temuan ekor pesawat AirAsia QZ8501. Adapun kedua lokasi black box dan ELT berhasil didapatkan dalam survei Baruna Jaya J1.

Danau Toba di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

Cegah Tragedi KM Sinar Bangun, Lima Repeater Ditempatkan di Danau Toba

Basarnas akan berpatroli di kawasan danau vulkanis.

img_title
VIVA.co.id
27 Mei 2019