Ilmuwan RI Temukan Metode 'Pembasmi' Paham Radikal
- VIVA.co.id/Avra Augesty
VIVA.co.id – IImuwan Indonesia sedang mengembangkan terobosan penemuannya, yakni metode pengendali kecemasan dan stres. Ilmuwan tersebut adalah Taruna Ikrar, peneliti dari Departemen Neuorologi Fakultas Kedokteran di Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.
Bersama dengan timnya, Taruna yang juga spesialis senior pada Divisi Neurobiologi di Universitas California, Irving, Amerika Serikat, ini bersedia menjelaskan metode yang sedang dikembangkannya.
Metode ini, menurut dia, mempelajari sistem saraf pada bagian kepala dan otak manusia, termasuk salah satunya penyebab seseorang melakukan tindakan radikal.
"Saat ini kami sedang mengembangkan berbagai manifestasi cemas. Salah satunya terorisme. Jadi, neurosains senang meneliti hal-hal aktual, salah satunya teroris. Karena itu, bukan hanya ancaman untuk Indonesia tapi juga dunia," katanya, di Jakarta, Senin, 21 Agustus 2017.
Menurut Taruna, apabila semakin banyak orang yang berfikiran ekstrem dan terpengaruh dengan doktrin-doktrin yang tidak nyata, dunia ini akan mengalami bahaya. Karena itu, timnya kini terus mempelajari struktur otak orang yang terdoktrin tersebut, dan hal yang menyebabkan pandangan ekstrem muncul dari dalam diri.
"Penyebab orang yang terkena doktrin itu sampai bisa ingin bunuh diri. Nah, kita pelajari struktur otaknya. Ternyata, dari seluruh orientasi itu ditemukan bahwa otak ini terdiri dari 100 miliar sel saraf dengan jaringan berbeda-beda," tuturnya.
Taruna melanjutkan, pembentukan otak orang ekstrem, karena struktur otaknya membentuk dirinya menjadi ekstrem. Ia mengatakan ada tiga pendekatan untuk proses penyembuhan orang berfikiran radikal. Yaitu neurogenesi, neurocompensation dan neuroplasticity.
Personel Densus 88 dan Gegana Polri saat penggerebekan teroris.
Sementara penyebab seseorang melakukan aksi teror, dikatakan Taruna, ada dua hal yakni depresi dan frustasi.
"Bedanya, depresi adalah aksi di mana orang lain menekan dia, sedangkan frustrasi adalah keinginan diri sendiri yang tidak tersampaikan. Kita harus perbaiki input-nya. Kalau input-nya doktrin, ya, lakukan dedoktrinasi. Kalau input-nya stressor akibat stres, kita relay stres-nya," ungkapnya.
Bicara dengan Wakapolri
Sedangkan untuk partisipan, Taruna menuturkan kalau ia dan timnya mengambil sampel dari pasien-pasien yang mengalami depresi, semisal akibat banyak utang, keluarga meninggal dunia dan berbagai faktor yang dikategorikan sebagai pemicu stres.
Ia mengaku timnya mempunyai simulasi khusus dalam melakukan doktrin, sehingga ke depannya, mereka masih harus mengamati seperti apa deekstremisme. Dari penelitian itulah, Taruna menemukan bahwa sel-sel syaraf yang mengalami struktur spesifik terhadap orang ekstrem bisa diperbaiki.
Artinya, metode penyembuhan untuk orang berpandangan radikal sudah ada dan pengobatannya melalui deradikalisasi.
"Kalau polisi melakukan deradikalisasi dengan cara radikal, itu salah besar. Karena akan membuat dia (teroris) menjadi semakin radikal. Ada cara-cara spesifik dalam pengembalian fungsi otak. Kami temukan dalam waktu 24 jam," papar dia.
Taruna meneruskan, struktur sinaptik otak mampu berubah dari sebelumnya. Artinya, orang radikal mampu diperbaiki menjadi lebih baik.
"Makanya, saya ingin bicara dengan Wakapolri (Komjen Syafruddin). Saya rasa sudah saatnya neuro-leadership ini dipelajari oleh semua intelijen kita. Intinya, proses dengan pendekatan neurosains, kita mampu melakukan deradikalisme secara natural," kata dia. (ren)