Kominfo Klaim Sudah Blokir Blued, Nyatanya?

Aplikasi gay Blued.
Sumber :
  • Blued

VIVA – Kementerian Komunikasi dan Informatika mengklaim sudah memblokir aplikasi gay, Blued. Tapi nyatanya, dalam pengecekan tim VIVA pada Rabu 17 Januari 2018, saat mengunduh aplikasi Blued di Play Store, platform tersebut masih bisa diakses.

Pekan lalu, terkuak kasus penangkapan lima pria tengah pesta seks di kawasan Puncak, Bogor. Menurut pengakuan mereka, pertemuan direncanakan lewat aplikasi Blued.

Terkait penindakan aplikasi berbau gay, Kominfo menegaskan konten negatif yang berkaitan dengan LGBT sudah ditapis sejak 2016.

Dari keterangan tertulis Kementerian Kominfo pada Rabu, 17 Januari 2018, Kominfo mengatakan, pada 28 September 2016 terdapat tiga DNS dari tiga aplikasi LGBT yang tidak sesuai dengan peraturan, telah diblokir. Kemudian pada 12 Oktober 2017, lima DNS dari aplikasi Blued juga telah diblokir.  

Pada 15 Januari 2018, Kominfo menyatakan telah melakukan beberapa tindakan, yaitu, mengirimkan permintaan kepada Google untuk menghentikan 75 aplikasi berbau LGBT dari Google Play Store, memblokir 15 DNS dari 15 aplikasi LGBT yang ada di Google Play Store, dan meminta Facebook untuk menangguhkan satu Grup Facebook LGBT yang meresahkan masyarakat.  

"Selama Januari 2018 ini, berdasarkan penelusuran dan pengaduan masyarakat, sejumlah 169 situs LGBT yang bermuatan asusila telah dilakukan pemblokiran. Di samping itu, terdapat 72.407 konten asusila pornografi telah dilakukan penanganan dalam kurun Januari ini. Berkenaan dengan aplikasi Blued sampai saat ini telah dilakukan pemblokiran sejumlah 9 DNS miliknya," tulis Kominfo kepada VIVA melalui pesan singkat, Rabu 17 Januari 2018.

Terkait masih marak dan bisa diaksesnya aplikasi tersebut, Kominfo malah meminta kesadaran dan kehati-hatian dari warganet di tanah air. Mereka mengimbau masyarakat untuk tidak menggunakan aplikasi apa pun yang tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya bermasyarakat di Indonesia. 

Pelaku asusila di Cianjur, berdasarkan laporan kepolisian, memanfaatkan komunikasi dengan aplikasi pesan khusus yang kerap diakses dengan memanfaatkan VPN atau jalur koneksi pribadi, IP anonymizer atau penyembunyi alamat protokol internet, situs proxy, serta cara-cara lain.

"Kementerian Kominfo sampai saat ini tidak pernah melakukan normalisasi maupun pembiaran terhadap aplikasi Blued dan aplikasi serupa lainnya yang telah lama diblokir. Selain teknik-teknik yang telah disebutkan sebelumnya, pengguna aplikasi juga memanfaatkan beberapa DNS yang disediakan langsung oleh penyelenggara layanan," tutur Kominfo.

Kominfo mengingatkan agar penyelenggara konten global dan nasional juga aktif dalam menjamin ketersediaan konten positif dan menekan jumlah konten negatif. 

Dianggap belum maksimal 

Aksi Kominfo ini dalam melakukan blokir konten dianggap tebang pilih. Tidak heran jika Kominfo dianggap belum maksimal dalam melindungi warganet agar tidak terpapar dari konten yang melanggar norma di masyarakat. 

"Katanya punya mesin seharga Rp200 Miliar dengan kemampuan yang dibekali segala macam kecanggihan. Tetapi kok bisa diakalin dalam kasus aplikasi LGBT dengan pola yang sebenarnya sudah common dalam mengakali konten yang dianggap rada-rada ngeri sedap? Pakai jalur VPN dan lainnya itu sudah biasa digunakan buat ngakali, tadi saya pikir alat Rp 200 miliar itu sudah antisipasi ini," sindir Founder IndoTelko Forum, Doni Ismanto Darwin.

Hal lain yang disorot adalah masih lemahnya pengawasan terhadap aktivitas iklan digital dari Blued yang memanfaatkan platform seperti Facebook atau Twitter. 

"Facebook masih menampilkan iklan Blued, terlepas itu secara push  atau pull dengan melihat algoritma penggunanya. Kalau memang Kominfo sudah koordinasi dengan Facebook bahwa yang berbau melanggar norma dilarang, kan Facebook ada orang lokalnya, kenapa ini iklan Blued masih beredar?" tanyanya.

Grand Syekh Al Azhar Kecam Keras Pembukaan Kontroversial Olimpiade Paris 2024

Terakhir, terkesan adanya perbedaan perlakuan dalam mengumumkan pemblokiran aplikasi LGBT dengan konten yang dianggap berbau radikal. 

"Coba lihat dalam pemblokiran konten berbau radikal, disebut detail. Bahkan dalam kasus Telegram, nama channel disebutkan. Kasus aplikasi LGBT disamarkan padahal aparat penegak hukum malah gamblang sebut nama aplikasinya. Kalau tak transparan begini, rakyat merasa ada diskriminasi perlakuan dalam penapisan konten," katanya.

Wanda Hara Bakal Dilaporkan ke Polisi, Advokat Ini Singgung Ingin Beri Sanksi Tegas untuk Kaum LGBT

Terkait dengan tudingan lemah pengawasan, perwakilan Kominfo yang menghubungi VIVA, menyatakan keberatan. Menurut mereka, Kominfo telah maksimal melakukan perlindungan warga dalam menghalau konten negatif. Kominfo senantiasa terus berkoordinasi dengan penyelenggara konten baik informal maupun formal untuk membendung konten negatif. Walaupun mereka mengakui bahwa iklan-iklan konten negatif seperti Blued masih ‘gentayangan’ di media sosial.

“Walaupun begitu kami terus berkoordinasi (mengingatkan) para penyelenggara konten,” katanya.

Brigjen Mukti Ungkap Fakta Mengejutkan Poppers, Ternyata Obat Perangsang Favorit LGBT

Dalam suasana formal maupun informal, kata perwakilan Kominfo, pihaknya terus berkoordinasi dengan perwakilan penyelenggara platform media sosial  Facebook, Line, Telegram, Twitter, BigoLive, LiveMe, Metube, BBM, dan Google dalam mencegah persebaran serta multiplikasi konten negatif.

Mahasiswi yang menjadi korban penganiayaan ustazah saat melapor di Polres Lombok Barat (Satria)

Masih Ada Rasa Cinta, Ustazah di Lombok Aniaya Mahasiswi Gegara Cemburu

Seorang mahasiswi di Lombok, Nusa Tenggara Barat dianiaya mantan ustazahnya karena cemburu mahasiswi tersebut memiliki kedekatan dengan dengan seorang pria.

img_title
VIVA.co.id
19 Oktober 2024