Dilema RUU Penyiaran, Dikelola Terpusat atau Desentralisasi
- Dok. Istimewa
VIVA.co.id – Wacana publik pembahasan RUU Penyiaran muncul kembali pekan ini. Utamanya pengelolaan frekuensi dan infrastruktur penyiaran.
Satu sisi, ada yang berpandangan bahwa pengelolaan frekuensi dan infrastruktur dilakukan sentralistik atau tunggal. Sisi lain, muncul juga pandangan, pengelolaan dengan otonomi oleh masing-masing lembaga penyiaran.
Di mata Direktur Eksekutif EmrusCorner, Emrus Sihombing mengatakan, Rancangan Undang-Undang Penyiaran sejatinya menjamin kebebasan berpendapat dengan cara negara memberikan otonomi kepada lembaga penyiaran (LP) untuk mengelola semua aspek.
"Otonomi yang diberikan termasuk pengelolaan frekuensi dan infrastruktur penyiaran yang terkait dalam proses memproduksi program acara," kata Emrus, dalam keterangan resminya, Senin, 25 September 2017.
Terkait dengan kedua wacana tersebut, EmrusCorner menyajikan simulasi terhadap kedua pandangan tersebut berikut ini.
Pengeloaan terpusat. Menurut Emrus, bila pengelolaan sentralistik atau tunggal, maka operator mengendalikan frekuensi dan infrastruktur digital oleh suatu badan atau konsorsium bentukan dari suatu kepentingan tertentu.
Dengan model ini, kata dia, operator dipastikan menyewakan kanal kepada content provider atau LP. "Dipastikan pula bahwa harga sewa lebih ditentukan oleh operator yang bersangkutan. Sedangkan pihak LP otomatis 'termarjinalisasi'," ungkapnya.
Migrasi ke Sistem Digital
Dengan skema semacam itu, Emrus mengatakan, tentu berpotensi menimbulkan praktek monopoli yang mendorong terciptanya persaingan usaha yang kurang sehat.
Selain itu, bisa terjadi dominasi operator terhadap pihak LP. Sebab, operator menguasai frekuensi dan infrastruktur yang dapat membatasi gerak langkah LP memproduksi program acara yang secepat mungkin disampaikan kepada publik dan bermutu.
Bagaimama dengan otonom? Menurut Emrus, ciri sebuah negara demokrasi yang maju, dipastikan semakin memberikan kepercayaan kepada warganya, termasuk kepada pihak swasta untuk mengelola sektor kepentingan publik.
Karena itu, kata dia, memberikan kepercayaan atau otonomi kepada LP dalam mengelola frekuensi dan infrastruktur masing-masing, bisa sekaligus menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan negara penganut demokrasi terbaik ketiga di dunia.
"Dengan otonomi, lembaga penyiaran punya kebebasan menyampaikan pendapat tanpa diganggu oleh pengendalian teknologi yang tersentralistik. Tentu hal ini sejalan dengan kebebasan berpendapat yang diamanatkan konstitusi kita," papar dia.
Di samping itu pula, dengan pola otonomi ini akan terhindar terjadinya praktik monopoli karena semua LP dapat mengelola sendiri frekuensi dan infrastruktur masing-masing. "Prinsip ini cepat atau lambat akan membuat LP migrasi secara alami ke sistem digital," ujar Emrus.