Telegram, Juara Bersih-bersih Konten Negatif
- REUTERS/Dado Ruvic
VIVA.co.id – Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan pengendalian konten negatif melalui sosialisasi dan edukasi maupun teknologi membuahkan hasil positif.
Tingkat respons penyedia layanan media sosial rata-rata melampaui 55 persen sejak 2016.
Adapun dari jumlah laporan aduan konten negatif di internet dan media sosial dari publik ke Kominfo selama tahun ini hingga 21 Juli 2017, terlihat menurun.
Kategori konten berbau Suku, Agama, Ras dan Antargolongan atau SARA serta ujaran kebencian jumlahnya masih tinggi , bila dibandingkan dengan kategori pornografi, hoax, perjudian, radikalisme serta terorisme.
Jumlah konten berbau SARA dan ujaran kebencian mencapai puncak tertinggi pada Januari 2017 dengan angka sebesar 5.142 aduan. Jumlah ini muncul bersamaan dengan Pilkada DKI Jakarta. Lalu, perlahan menurun hingga sejumlah 94 aduan pada Juli 2017.
Namun, konten SARA dan ujaran kebencian sempat naik lagi pada April dan Mei, berbarengan dengan momentum Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Angkanya terbilang banyak, sekitar 1.000 aduan.
Peringkat kedua aduan tertinggi adalah konten hoax dan berita palsu, yang mencapai puncaknya pada momentum Pilkada DKI Jakarta pada Januari 2017.
Awalnya, tercatat sebanyak 5.070 aduan, kemudian menurun menjadi 48 aduan. Sedangkan jumlah konten sarat pornografi juga menurun, dari ribuan pengaduan menjadi hanya ratusan pada Juli 2017.
Berbagai langkah persuasi terhadap penyedia layanan media sosial setahun ini menghasilkan respons rata-rata 55 persen. Dari aduan masyarakat tersebut, lebih dari setengah telah diblokir atau diturunkan (take down).
Dari lima penyedia layanan media sosial terbesar di Indonesia, respons Telegram tertinggi sebesar 93,3 persen untuk memblokir sejumlah konten negatif di saluran publik mereka. Namun, Telegram baru bertindak setelah Kominfo memblokir DNS website mereka pada 14 Juli 2017.
Instagram, Facebook dan YouTube masuk dalam kategori penyedia layanan media sosial yang cukup baik dengan rata-rata 55 persen untuk merespons konten negatif yang tayang di aplikasi mereka. Sementara, Twitter baru memproses 22,5 persen dari aduan publik.
Kominfo menilai perlu diteliti lebih jauh apakah jumlah pengaduan publik atas konten negatif berkorelasi dengan jumlah konten negatif yang masih beredar di internet dan dunia maya. (ase)