Cerita di Balik Lahirnya Fatwa Medsos

Menkominfo Rudiantara
Sumber :
  • VIVA.co.id/BanjirAmbarita

VIVA.co.id – Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial resmi dipublikasi pada Senin, 5 Juni kemarin.

Backup Pusat Data Nasional Hanya 2%, Najwa Shihab: Sejak Kapan Kita Dianggap Penting?

Keputusan ini sebagai tindak lanjut dari kesepakatan antara pemerintah dan MUI pada Januari 2017 guna memberi pagar aturan kepada umat Islam dalam menggunakan jejaring sosial di internet.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, bercerita mengenai lahirnya fatwa tersebut. "Kita tahu banyak konten-konten negatif bertebaran di medsos. Pemerintah tentu sangat concern dengan masalah ini," kata Rudiantara di Jakarta, Jumat, 9 Juni 2017.

Wapres: Air Bersih Penentu Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Ia mengatakan, secara substansi, fatwa ini mendukung UU ITE. Mulai dari penjelasan haramnya perbuatan-perbuatan tertentu dengan media sosial hingga rambu-rambu pembuatan serta penyebaran konten.

"Kalau kita lihat UU ITE itu terkesan masalah selesai dengan pembatasan akses atau blokir konten. Padahal, kami menyadari kalau melakukan pemblokiran tidak efektif," tuturnya.

Wapres: Stunting Rugikan Negara Hingga Rp450 Triliun

Lebih lanjut Rudiantara mengungkapkan, pemblokiran akan efektif kalau dilakukan dari hulu. Ia mengibaratkannya seperti menyembuhkan orang sakit.

"Di sini, orang sakit mengalami masa pemulihan, dan membuatnya menjadi sehat dengan cara makan empat sehat lima sempurna hingga olahraga teratur," ungkap Rudiantara.

Dua sisi mata uang

Sehingga, di hulu melakukan pemblokiran, maka di hilir melakukan sosialisasi literasi berdasarkan fatwa MUI. Rudiantara berkisah jika sejak Mei lalu dirinya diberi tahu oleh Ketua MUI KH Ma'ruf Amin mengenai kelahiran fatwa ini.

"Pak Ma'ruf bilang ke saya bagaimana kalau diberi nama Muamalah Medsosiah saja," katanya. Oleh karena itu, ia melihat bahwa antara UU ITE dan fatwa media sosial seperti dua sisi mata uang.

"UU ITE adalah sisi umara (pemerintah sebagai regulator), sedangkan fatwa MUI adalah sisi ulamanya. Keduanya pun bisa berjalan bersama-sama untuk kepentingan masyarakat dari hulu hingga hilir," kata dia.

Kendati demikian, apakah ini selesai? Tidak. Rudiantara menegaskan, yang namanya manusia pasti berusaha untuk mencari kelemahan hukum.

Karena itulah perlu sering dilakukan sosialisasi, terutama bila ada yang sengaja memainkan isu sejenis pada masyarakat yang tingkat literasi media sosialnya rendah.

"Insya Allah akan mengedukasi masyarakat yang terpapar konten negatif di media sosial. Karena memang ada masyarakat yang sebelumnya tidak tahu apa-apa, dan hanya karena menerima berita palsu (hoax) jadi mereka berfikir kabar tersebut benar," tuturnya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya